“Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena
mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang
jahat.”
(Ibr. 5:14)
Ketika mendengar kata “dewasa”, apa yang ada di
benak kita? Ada yang mengatakan bahwa orang yang telah berusia 25 tahun ke
atas. Orang lain mengatakan bahwa orang dewasa adalah orang yang mandiri dan
bertanggung jawab. Pada umumnya orang mengidentikkan kedewasaan dengan tingkat
usia seseorang atau hal-hal superficial atau
fenomenal yang dapat dilihat mata. Salahkah hal tersebut? Tentu TIDAK! Namun
fakta membuktikan bahwa orang yang sudah berusia 25 tahun ke atas pun bertindak
tidak dewasa, misalnya kalau ditegur langsung ngambek, setiap perkataannya harus ditaati sampai
sedetail-detailnya, berkata apa pun selalu tidak bisa dipertanggungjawabkan
(bahasa Jawanya: esuk dele sore tempe),
dll. Lalu, jika kedewasaan HANYA diukur dari tingkat usia seseorang atau
hal-hal superficial, apakah
gejala-gejala di atas menunjukkan bahwa orang tersebut telah dewasa? TIDAK. Lalu,
apa sebenarnya makna dewasa?
Pertama, kedewasaan itu menyeluruh
(holistik). Di dalam kuliah Surat Ibrani di Sekolah Theologi Reformed Injili
Surabaya (STRIS) Andhika, Pdt. Thomy Job Matakupan, M.Div. mengatakan bahwa
kedewasaan itu adalah sesuatu yang menyeluruh, meliputi kedewasaan: rohani,
karakter, dll. Dengan kata lain, ada orang Kristen yang dewasa secara rohani namun
tidak dewasa secara karakter dan sebaliknya. Sehingga adalah tugas orang
Kristen untuk saling menguatkan dan menegur satu sama lain untuk mendewasakan
satu sama lain di dalam pertumbuhan yang sehat dan menyeluruh ke arah Kristus.
Kedua, kedewasaan itu proses.
Karena kedewasaan itu adalah hal yang menyeluruh, maka tentu saja kedewasaan
itu membutuhkan proses. Artinya, seorang Kristen untuk menjadi dewasa secara
menyeluruh dibutuhkan sebuah proses waktu. Oleh karena itu, jangan pernah
menghina orang Kristen yang sedang bertumbuh, karena fakta membuktikan orang
yang gemar menghina orang lain dengan celetukan, “kayak anak kecil”, orang yang menegur tersebut pun secara tidak
sadar juga seperti anak kecil, misalnya ngambek
kalau ditegur.
Ketiga, kedewasaan itu perlu
bantuan. Karena kedewasaan itu sebuah proses, maka dibutuhkan bantuan untuk
mendewasakan seseorang. Bantuan tersebut bisa berupa teguran dan pengajaran
dari Alkitab, hamba Tuhan, saudara seiman, orangtua, saudara, dll. Nah, sering
kali orang yang merasa diri sudah berumur/tua paling berbangga diri karena
merasa diri sudah dewasa, sehingga kalau ditegur, selalu mengeluarkan seribu
jurus melawan teguran tersebut! Justru, orang yang merasa paling dewasa dan
tidak butuh orang lain untuk menegur, orang tersebut justru TIDAK dewasa,
karena dewasa bukan suatu keadaan statis!
Dari presuposisi tentang kedewasaan, maka kita
dapat menarik beberapa ciri kedewasaan. Saya membagi kedewasaan menjadi dua: internal
dan eksternal.
Pertama, mengonsumsi makanan
keras. Kalau kita kembali melihat Ibrani 5:14, penulis Ibrani mengatakan bahwa
makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa. Kata “dewasa” dalam ayat ini
dalam teks Yunaninya teleiōn artinya sempurna atau dewasa
(mature). Hanya orang-orang dewasa yang
dapat mengunyah makanan keras karena gigi-gigi mereka sudah terlatih. Di dalam
kehidupan sehari-hari, orang (yang bertumbuh) dewasa adalah orang yang tidak
lagi mendengarkan dongeng, namun sudah terbiasa membaca surat kabar dan
buku-buku yang sulit. Di dalam kerohanian, orang Kristen (yang bertumbuh) dewasa
adalah mereka yang sudah terlatih mendengarkan khotbah-khotbah yang keras yang
menegur dosa supaya mereka bertobat dan kembali kepada Kristus. Namun
berhati-hatilah, mendengarkan khotbah keras JANGANLAH menjadi suatu arogansi
bagi kita lalu menghina khotbah-khotbah yang sederhana (sederhana TIDAK sama
dengan dangkal!)
Kedua, peka membedakan yang baik
dan jahat. Dalam
bahasa Yunani, kata membedakan adalah diakrisis bisa berarti discerning atau judging (=membedakan, melihat, menghakimi). Dengan kata lain, kedewasaan
internal diukur dari kepekaan seseorang (Kristen) mengetahui dengan jelas
sesuatu atau seseorang apakah itu baik atau jahat, lalu pengetahuan itu
menuntut pembedaan yang jelas antara keduanya, sehingga tidak mengaburkan dan menyesatkan.
Kepekaan mengetahui dengan jelas dan kemudian membedakannya hanya dimiliki oleh
seorang yang sudah dewasa. Orang dewasa
mengetahui dan dapat membedakan mana etika yang benar dan salah. Di dalam
kerohanian, orang Kristen (yang bertumbuh) dewasa peka membedakan mana yang
baik dan jahat. Namun ingatlah, peka membedakan yang baik dan jahat HENDAKlah
tidak mengakibatkan kita menjadi arogan lalu gemar mengkritik sini-sana. Peka
membedakan yang baik dan jahat seharusnya berlaku pertama-tama bagi diri kita
sendiri (introspeksi diri) dan kemudian bagi orang (dan ajaran) lain.
Pertama,
mandiri. Mandiri
adalah sikap berdikari sendiri, berani melakukan segala sesuatunya secara
sendiri. Mandiri tidak berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain sama
sekali, tetapi mandiri adalah sikap seorang yang dewasa dalam mengerjakan
segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain, entah itu teman, orangtua, dll
(meskipun bantuan mereka TIDAK boleh kita abaikan sama sekali). Mandiri berwujud: Pertama, menguasai banyak hal. Artinya,
sebisa mungkin, orang yang bertumbuh dewasa adalah orang yang cukup menguasai
banyak hal (theologi, filsafat, politik, pendidikan, ekonomi, dll), meskipun
hal ini TIDAK berarti kita menjadi ahli dalam segala hal. Kedua, bijaksana. Secara implisit, Pdt. Sutjipto
Subeno, M.Div. mendefinisikan bijaksana sebagai
suatu tindakan yang diambil dengan tepat dengan pertimbangan yang matang di
dalam kondisi yang tepat. Artinya, selain pintar, bijaksana juga membutuhkan
hikmat tertinggi yaitu dari Tuhan.
Bijaksana ini bisa diaplikasikan dalam: mengambil keputusan dan mengelola
sesuatu (misalnya: keuangan, waktu, dll). Ketiga, bertanggung jawab. Seorang
yang mandiri haruslah seorang yang bertanggung jawab atas apa yang dipikirkan,
diucapkan, dan dilakukan. Jangan merasa diri mandiri, namun ketika berkata
sesuatu selalu mencla-mencle!
Kedua, kemampuan bersosialisasi.
Mandiri saja TIDAK cukup syarat bagi seorang yang bertumbuh dewasa, karena jika
yang diperlukan hanya mandiri, maka kita nantinya menjadi pribadi yang egois
dan arogan. Oleh karena itu, seorang yang bertumbuh dewasa perlu memiliki
kemampuan untuk bersosialisasi. Artinya, orang tersebut harus bisa
berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia luar, misalnya lingkungan gereja,
masyarakat, pekerjaan, pendidikan, dll. Dengan berhubungan dengan dunia luar
(berkomunitas), kita bisa belajar banyak hal, mulai dari prinsip hidup, kondisi
masyarakat, dll. Selain itu, G. I. Jeffrey Siauw, M.Div. di dalam khotbahnya tentang
komunitas di dalam Seminar Redemptive
Spirituality Series pada tanggal 20 September 2008 di Surabaya mengajarkan
bahwa pentingnya komunitas itu membukakan kepada kita realitas kita yang
negatif dan teman kita dapat memberi terang kepada diri kita. Tanpa komunitas,
kita tidak pernah merasa diri kita memiliki kelemahan/hal negatif. Tuhan
memakai komunitas yang bertanggungjawab sebagai sarana mempertumbuhkan iman dan
karakter kita.
Ketiga,
rendah hati. Kemampuan bersosialisasi mengakibatkan seorang yang bertumbuh
dewasa memiliki suatu kerendahan hati. Rendah hati TIDAK sama dengan rendah
diri atau sungkan (bahasa Jawa: enggih-isme).
Rendah hati adalah suatu sikap merendahkan hati kita untuk siap ditegur dan
diajar oleh orang lain, sehingga kita bisa bertobat dari yang lama. Saya
menjumpai terlalu banyak orang yang mengklaim diri dewasa (baca: yang sudah
berumur/tua), tetapi ketika ada pendapat mereka yang salah secara objektif,
mereka menjadi keras kepala dan enggan ditegur dengan beribu argumentasi “logis”.
Tidak heran, saya sering mendengar orang berkata bahwa semakin tua usia
seseorang, semakin susah orang tersebut ditegur! Mengapa? Karena orang itu
sudah TIDAK memiliki sikap rendah hati ditambah kebanyakan mereka menjadi
sombong. Kesombongan mereka ditandai dengan perkataan yang sering mereka
ucapkan bahwa mereka sudah berpengalaman, sudah banyak makan asam garam (sampai
darah tinggi, kolesterol, dll, hehehe). Orang yang bertumbuh dewasa khususnya
orang Kristen seharusnya TIDAK meniru apa yang dunia pikir, katakan, dan lakukan,
tetapi harus berubah. Kerendahan hati adalah sikap yang HARUS dimiliki orang
Kristen dari segala macam usia untuk bertumbuh makin serupa dengan Kristus.
Bagaimana
dengan kita? Biarlah artikel singkat ini boleh menyadarkan kita agar kita
semakin lama semakin bertumbuh dewasa menuju ke arah Kristus dan tentunya kita
membutuhkan bantuan agar kita bisa berada di dalam proses menuju kedewasaan itu.
Jadilah orang yang membantu orang lain untuk bertumbuh dewasa dan rendah
hatilah dalam menerima setiap teguran dan pengajaran dari orang lain yang
sesuai dengan Alkitab agar kita pun juga bertumbuh makin dewasa. Amin. Soli Deo
Gloria.
“Mengenal
kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung dari Allah
tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan hidup
berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita.”
(Rev. Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God’s Way, hlm. 185)
oleh:
Denny Teguh Sutandio
0 komentar:
Posto një koment