Suatu kebiasaan umum dalam masyarakat dalam usaha untuk membenarkan, menguatkan atau menjamin kemurnian suatu pernyataan atau perkataan seseorang, ialah bersumpah. Walaupun ungkapan-ungkapan yang digunakan berbeda-beda, namun hakekatnya sama.
Sang Yesus Kristus dalam kotbah di bukit menegur umat Yahudi mengenai ini. Dalam ajaran Agama mereka dilarang bersumpah palsu. Tetapi Yesus melangkah lebih jauh dengan mengatakan jangan sekali-kali bersumpah. Yang utama adalah kejujuran. Berkata sang Kristus demikian :
“Jika Ya, hendaklah kamu katakan: Ya!, Jika tidak, hendaklah kamu katakan : tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si Jahat” 1)
Perkataan seorang yang jujur tidak membutuhkan backing dari siapapun. Sebaliknya, walaupun didukung dengan sumpah yang betapa hebatnya sekalipun, siapakah yang dapat sepenuhnya mempercayai seseorang yang kehidupannya tidak beralaskan ketulusan yang bersih?
Kehidupan masyarakat yang makin pelik sekarang ini, dengan segala kelicikan dan tipu muslihat yang sukar dibuktikan menggugah kita untuk menemukan kembali salah satu landasan yang dapat menata kehidupan yang lebih serasi dan selaras, yaitu KEJUJURAN. Kejujuran dan ketulusan atau keikhlasan adalah prinsip hidup yang akan mampu mendukung suatu masyarakat ke arah keserasian dan kedamaian yang lestari.
Yesus melihat kemunafikan sebagai utusan utama bagi kehidupan agama dan moral. Demikian pula Rasul Paulus umpamanya melihat salah satu tanda pokok yang memperlihatkan kehidupan baru orang beriman, adalah sifat kejujuran.
Berucaplah sang Rasul a.l. demikian : “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain” 2) tanpa kejujuran, maka segala bentuk kebajikan akan tidak punya makna lagi. Dalam ajaran kepercayaan Kristen, kita mengetahui bahwa Kasih adalah kualitas yang paling unggul bagi kehidupan kristiani. Namun itupun menuntut ketulusan, seperti diutarakan oleh Rasul : “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura” 3). Kasih yang tidak tulus lebih parah daripada sama sekali tidak mengasihi.
Kejujuran adalah esensi keberanian moral seperti yang telah diperagakan dalam keseluruhan hidup sang Yesus sendiri, walaupun yang dipertaruhkan adalah jiwanya sendiri. Bila kita lihat keadaan Jemaat Kristen mula-mula, maka yang sangat mengesahkan masyarakat sejaman waktu itu, bukankah terutama pola hidup kasih sayang yang mereka peragakan, melainkan juga integritas kehidupan berjemaat itu sendiri. Kita ingat betapa para sahid sebenarnya dapat saja terhindar dari kematian hanya dengan sedikit bersikap munafik, setidak-tidaknya untuk beberapa detik saja. Namun mereka bertahan dalam sikap : “Ya adalah Ya, dan Tidak adalah Tidak!”
Cukup menarik untuk diperhatikan, bagaimanan proses terjadinya transformasi dalam pengertian sahid, yang dalam bahasa asingnya disebut martyr. Kata ini pada mulanya berasal dari kata yang bermakna bersaksi (maryerin), yang kemudian justru karena kesaksian yang tulus dan penuh kejujuran itu menyebabkan orang percaya itu harus membayar mahal dengan jiwa mereka sendiri. Sehingga kemudian mereka disebut Martyr.
Semua orang mengetahui bahwa lawan kejujuran adalah kebohongan dan kepalsuan. Pernah seorang ahli kriminologi di Amerika Serikat menyatakan bahwa kepalsuan dan pemalsuan adalah praktek-praktek kriminal yang paling luas di negara itu. Praktek tersebut bukan hanya didapati di kalangan para gangster di lingkungan yang dikenal dengan istilah “underworld”, tetapi juga terdapat di kalangan dunia bisnis yang terhormat.
Di zaman kita sekarang ini tambah terasa betapa orangmakin tidak mampu lagi mempercayai satu sama lain. Semua pada bertanya, sampai di mana kita bisa mempercayai kejujuran di kalangan pers, para pengiklan, kaum politisi, para ahli hukum, para penegak keadilan dan penjaga hukum, malah sampai-sampai kesangsian itu juga terarah kepada para ulama dan ahli agama. Sehingga kadang-kadang terdengar semacam keluhan : “Siapa lagi yang dapat kita percaya?”
Masalah yang kita hadapi ialah : apakah kita masa kini menjadi semakin tidak jujur? Padahal semua meyakini bahwa struktur suatu masyarakat dapat dipertahankan bila terdapat sikap saling mempercayai. Sedangkan dalam kenyataan yang sering kita alami, justru dalam banyak peristiwa dalam hubungan-hubungan bisnis atau hubungan sosial lainnya segala-galanya dirasakan kurang meyakinkan dan selalu ada rasa curiga.
Dunia yang bertambah modern dengan segala kemampuan teknologi yang begitu mengherankan, telah berhasil menyulap segala sesuatu menjadi hal yang menarik, tetapi telah kehilangan keaslian dan kesejatiannya. Lihat saja bunga-bunga plastik yang indah dan menawan dengan bangganya dipajangkan untuk mempercantik ruangan. Namun semuanya palsu, tidak asli, tidak otentik lagi. Apakah juga sifat-sifat ketulusan dan kejujuran insan-insan modern juga kejangkitan wabah plastik ini sehingga semuanya dipolosi oleh kepura-puraan? Apakah juga Kasih yang dikumandangkan oleh insan kristiani adalah kasih yang pura-pura?
Tidak jarang saya mendengar keluhan orang yang mengatakan atau mempertanyakan tentang integritas orang Kristen sekarang ini. Apakah masih ada orang yang menerima perkataan “Ya” atau “Tidak” dari seorang kristen itu, tanpa memerlukan garansi lainnya, hanya karena mereka yakin bahwa ia adalah seorang yang jujur sepanjang hidupnya, dan bukan hanya bergantung pada sikon saja?
Pertanyaan tadi mebuat kita prihatin atas prinsip-prinsip kehidupan kita masa kini.
Referensi :
1) Matius 5:37
2) Efesus 4:25
3) Roma 8:9
Dari Berbagai Sumber
0 komentar:
Posto një koment