Masih belum menemukan apa yang Anda cari? Masukkan kata kunci pencarian Anda untuk mencari artikel yang ada di Blog ini:

Jodoh Yang Sesuai Kehendak Tuhan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Mengasihi Diri Sendiri

Mengasihi Diri Sendiri

BERSYUKUR KARENA DISELAMATKAN

BERSYUKUR KARENA DISELAMATKAN

e hënë

Jodoh: Di Tangan Tuhan atau Di Tangan Manusia?

 
 
 Problematika mengenai jodoh atau pasangan hidup bukanlah perkara mudah untuk dipecahkan. Ada banyak kasus orang yang sudah menikah dan berpikir bahwa pasangannya adalah pasangan hidupnya, tetapi akhirnya bercerai juga dengan alasan tidak cocok. Mengapa tidak cocok? Mengapa pada saat mengenal dan berpacaran, mereka tidak saling mengenal sungguh-sungguh? Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, salah satunya, yaitu: kalau waktu berpacaran, kebiasaan negatif tidak ditunjukkan, sedangkan waktu menikah, segala sesuatunya tampak nyata. Ketidakcocokan yang terjadi ini sering kali mengakibatkan seseorang frustasi lalu mengatakan bahwa jodohnya dahulu bukan dari Tuhan. Benarkah jodoh di tangan Tuhan ataukah di tangan manusia mutlak ataukah dua-duanya? Ada beragam pandangan mengenai hal ini yang disertai dengan presuposisi dan akibat konsep-konsep tersebut. Selanjutnya, kita akan mengkritisinya dari perspektif Alkitab dan menunjukkan bahwa pasangan hidup itu sebenarnya dipimpin oleh Allah dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
 
 
JODOH DI TANGAN TUHAN
Pertama, jodoh di tangan Tuhan. Ada orang Kristen yang berpandangan bahwa jodoh di tangan Tuhan. 
 
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi pemikiran ini? Konsep ini didasari oleh pemikiran theologi Reformed bahwa apa pun di dunia ada dalam pemeliharaan (providensia) Allah. Allah adalah Allah yang memelihara segala sesuatu. Itulah wujud kedaulatan Allah. Jika Ia berdaulat atas segala sesuatu, mengapa untuk masalah jodoh dikecualikan dari kedaulatan Allah? Meskipun ajaran ini benar, tetapi penganut konsep pertama ini mengekstremkannya. Jika ditelusuri, konsep ini mirip dengan pandangan Hiper-Calvinisme (http://en.wikipedia.org/wiki/Hyper-Calvinism) yang meniadakan konsep tanggung jawab manusia dan terlalu menekankan kedaulatan Allah. Tidak heran, juga seorang Hiper-Calvinis tulen akan “konsisten” menjalankan konsepnya baik di dalam doktrin maupun aplikasi hidup, meskipun bertentangan dengan ajaran Alkitab. Seorang Hiper-Calvinis yang tidak mempercayai tanggung jawab manusia akan malas memberitakan Injil (karena bagi mereka sudah ada predestinasi dari Allah, buat apa memberitakan Injil) dan juga malas mencari pasangan hidup sendiri.
 
Presuposisi kedua yang  melatarbelakangi konsep ini adalah konsep “cuek.” Ini yang lebih parah. Orang yang mengatakan bahwa jodoh di tangan Tuhan dilatarbelakangi oleh kecuekan dirinya memikirkan tentang pasangan hidup. Artinya, mereka malas mencari sendiri pasangan hidup, lalu menyerahkan tanggung jawabnya ini kepada Tuhan Allah.
 
Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibat konsep ini? Konsep ini mengakibatkan seseorang di titik pertama tidak bertanggungjawab mencari pasangan hidupnya yang beres sesuai kriteria Alkitab. Kalau orang ini seorang cowok, ia akan menunggu sampai cewek itu yang memberi respons kepada si cowok. Setelah bertemu dengan pasangan hidup yang cocok tersebut, orang ini berpacaran dan menikah, karena ia menganggap itu adalah jodohnya. Tetapi sayangnya, setelah menikah beberapa bulan bahkan tahun, mereka bercerai, lalu dengan mudahnya mengatakan bahwa pasangannya dahulu bukan jodohnya. Kemudian, ia akan marah kepada Tuhan dan menyalahkan-Nya. Logika ini sungguh lucu. Jadi, para penganut konsep ini hendak mengatakan bahwa jodohnya itu mutlak di tangan Tuhan (dan manusia tidak bertanggungjawab sama sekali), lalu setelah mereka bertemu dengan jodohnya, namun tidak cocok bahkan bercerai, yang disalahkan adalah Allah! Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman dan sepadan.
 
 
JODOH DI TANGAN MANUSIA
Kedua, jodoh di tangan manusia. Ini adalah satu konsep yang melawan konsep pertama. Dengan kata lain, orang yang memegang konsep ini sebenarnya sedang berpikir either…or (kalau tidak ini, ya yang satunya).
Presuposisi
Apa yang melatarbelakangi konsep ini? Konsep ini didasari oleh suatu kehendak diri yang ingin meniadakan Allah di dalam masalah pasangan hidup. Orang yang memegang konsep ini adalah orang yang berpikir bahwa Allah tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah pasangan hidup, lalu ia mengatakan bahwa biarlah ia sendiri yang bertanggungjawab mencari pasangan hidup. Konsep ini sebenarnya mirip dengan konsep dualisme iman-ilmu yang memisahkan secara tajam antara iman Kristen dan integrasinya di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi para dualis ini, Allah tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka sehari-hari dan Ia hanya ada (berkuasa) di lingkungan gereja saja.
 
Lebih celakanya, ada yang mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab mencari dan memilih pasangan hidup, nanti Tuhan tinggal merestuinya. Orang ini mengatakan bahwa pada saat memilih pasangan hidup ini pun ada di dalam pemeliharaan Allah. Benarkah konsep ini? Bukankah konsep ini hendak menurunkan derajat Allah hanya sebagai Pribadi yang melegitimasi apa yang kita pilih atau lebih ekstremnya hendak mengatakan Allah sebagai pembantu kita? Konsep ini tidak ada bedanya dengan konsep beberapa (atau bahkan banyak) ajaran Karismatik yang mengajarkan bahwa kita minta apa saja, Tuhan tinggal dan pasti mengabulkan. Lebih tajam lagi, ini adalah konsep Arminian yang menekankan tanggung jawab manusia melebihi kedaulatan Allah. Bagi seorang Arminian, dirinya bertobat, meskipun adalah anugerah Allah, tetap adalah jasa manusia. Bagi seorang Arminian juga, keselamatan bisa hilang, karena orang “Kristen” murtad dan Allah tidak berdaya apa pun. Sungguh mengasihankan “Allah” seperti ini, “Allah” yang kalah dengan kehebatan manusia.
 
Terakhir, lebih celaka lagi, jika konsep ini diajarkan oleh orangtua yang mengklaim diri “Kristen” kepada anak-anak mereka di dalam memilih jodoh. Artinya, orangtua “Kristen” bisa mengajar atau bahkan menyetujui konsep bahwa jodoh di tangan manusia, karena di titik pertama, mereka hendak mematok standar tertentu bagi calon pasangan anaknya. Memang baik (Pdt. Sutjipto Subeno pernah mengatakan bahwa baik belum tentu benar) jika ada orangtua yang menetapkan (lebih tepatnya: memberikan saran/menyarankan) kriteria-kriteria yang baik bagi pasangan anak mereka, tetapi penetapan itu BUKANlah penetapan mutlak seperti penetapan Allah! Barangsiapa yang memutlakkan standar tertentu, ia hendak menyamakan dirinya dengan Allah, dan itu adalah dosa. Mengapa? Karena dosa bukan dimengerti secara fenomena, misalnya: membunuh, mencuri, dll, tetapi dosa adalah melawan Allah atau lebih tepatnya mengutip perkataan Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya The Defense of the Faith (1955), dosa adalah inisiatif manusia menggantikan standar nilai Allah dengan standar nilai diri mereka yang berdosa untuk menafsirkan segala sesuatu. (hlm. 15) Jika ada orangtua “Kristen” (apalagi mengaku “Reformed”—lebih tepatnya, bukan Reformed sejati, tetapi aktif ikut kebaktian di gereja Reformed saja) lalu dengan cepat menyetujui konsep bahwa jodoh itu di tangan manusia, berhati-hatilah! Jika mereka sampai menyetujui konsep ini dengan cepat (tanpa pikir panjang), dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya hendak membuang standar Allah dan menetapkan standar orangtua secara mutlak bagi pasangan anak mereka, meskipun ada yang secara mulut (bahasa Jawanya: mbasahi lambe—tanda orang yang tidak pernah tulus jika berkata apa pun) mengakui partisipasi Tuhan di dalamnya. Itulah dosa!
 
Akibat dan Analisa Theologis (dan Filosofis)
Lalu, apa akibatnya?
Pertama, orang yang memegang konsep ini secara konsisten akan memilih pasangan hidupnya sendiri yang diklaim “sesuai prinsip Alkitab”, tetapi sayangnya tidak meminta pimpinan Tuhan di dalamnya. Mengapa? Karena orang ini akan takut dan kuatir (bahkan mungkin saja bisa marah) jika sampai Allah mengatakan TIDAK atas pilihannya. Sebenarnya, problem utama penganut konsep ini adalah orang ini tidak mau diganggu (bahkan oleh Allah sendiri) ketika memilih pasangan hidup. Jika si cowok mengatakan bahwa dirinya cocok dengan seorang cewek dan begitu juga sebaliknya, mereka akan langsung berpacaran dan menikah. Padahal mungkin sekali di mata Allah, mereka tidak cocok secara esensi, karena apa yang kita pandang dan anggap baik, belum tentu dipandang dan dianggap baik dan benar oleh Allah!
 
Kedua, orang lain (dalam hal ini, khususnya orangtua) ikut menentukan standar memilih pasangan hidup. Karena memegang dengan teguh konsep bahwa jodoh di tangan manusia, ada beberapa orangtua “Kristen” yang ikut-ikutan menentukan jodoh/pasangan hidup anaknya. Ketika disebut seperti ini, spontan saja, orangtua “Kristen” ini tidak mau dikatakan “menentukan” pasangan hidup anaknya, tetapi “menyarankan.” Jika mau ditelusuri lebih tajam, apa bedanya “menyarankan” dengan “menentukan/memaksa”? Dua kata ini jelas berbeda, tetapi berusaha dikaburkan oleh orang postmodern ini. “Menyarankan” berarti orangtua “Kristen” ini hanya memberi saran yang baik kepada anaknya tentang kriteria pasangan hidup yang berkaitan dengan pandangan-pandangan umum (respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah yang berupa: kebudayaan dan ilmu/sains). Hasil akhirnya BUKAN lagi ada pada orangtua ini, tetapi pada kebebasan anaknya yang bertanggungjawab untuk memilih atau menolak beberapa atau semua konsep orangtuanya sesuai dengan prinsip respons manusia terhadap wahyu umum Allah dan wahyu khusus Allah, yaitu: ALKITAB! Sedangkan “menentukan/memaksa” berarti orangtua bukan hanya memberi saran, tetapi ikut menilai calon pasangan hidup anaknya, meskipun penilaian ini pun kadang-kadang sangat fenomenal dan tidak bertanggungjawab sama sekali. Misalnya, ada orangtua “Kristen” bahkan mengaku diri “Reformed” (padahal sih, cuma aktif ikut kebaktian di gereja Reformed) tetapi masih mempercayai shio sebagai standar menentukan/memaksa anaknya dalam memilih pasangan hidupnya (meskipun katanya, ini hanya lelucon, tetapi bagi saya, ini adalah lelucon yang tidak berarti sama sekali). Contoh, ketika sang anak mengetahui bahwa pasangan hidupnya shio kuda, maka dengan cepat, sang orangtua ini mengatakan bahwa orang yang shionya kuda itu keras, dll. Bukankah ini adalah suatu kelucuan yang tidak masuk akal, bodoh, dan menghina Allah sendiri ketika ada orang (bahkan menyebut diri “Kristen”) yang mengukur orang lain dari shio yang dilambangkan dengan binatang?! Jika ada orangtua “Kristen” yang sampai menentukan pasangan hidup bagi anaknya, biarlah dirinya sendirilah yang menikah, bukan anaknya!
 
 
JODOH: DIPIMPIN TUHAN DAN DIPERTANGGUNGJAWABKAN OLEH MANUSIA
Jika konsep pertama dan kedua adalah konsep yang tidak menyeluruh dan tidak seimbang, maka bagaimana pandangan Alkitab yang konsisten sesuai dengan theologi Reformed tentang jodoh? Benarkah jodoh itu mutlak di tangan Tuhan atau mutlak merupakan tanggung jawab manusia? Secara konsisten dengan Alkitab dalam perspektif theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, maka konsep yang benar mengenai jodoh bahwa jodoh itu dipimpin oleh Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia.
Presuposisi
Apa dasar pikir dari konsep terakhir ini? Konsep ini didasarkan pada berita Alkitab mengenai penciptaan manusia. Mari kita analisa secara cermat. Setelah menciptakan segala sesuatunya selama 5 hari, maka Allah menciptakan manusia di hari ke-6 (Kej. 1:26-27). Di situ, dengan jelas, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Lalu, Allah memberkati ciptaan itu dan menyebutnya sungguh amat baik (Kej. 1:31). Kemudian, Ia menyadari bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka Ia akan menjadikan seorang penolong yang sepadan dengan dia—Adam (Kej. 2:18). Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 19 yang mengatakan bahwa Allah membawa semua binatang hutan dan burung kepada manusia untuk melihat, lalu Adam memberi nama kepada semua binatang. Setelah mengamat-amati ciptaan Tuhan (binatang) itu, maka Adam menyadari bahwa tidak ada penolong yang sepadan dengan dia, maka di ayat 21, Allah menciptakan Hawa sebagai penolong yang sepadan dengan Adam. Dari kisah ini, apa yang bisa kita pelajari? Ada yang menafsirkan bahwa kisah ini merupakan bukti bahwa jodoh merupakan tanggung jawab manusia. Konsep ini diajarkan karena si penafsir hanya membaca ayat 19-20. Meskipun tidak sepenuhnya salah, konsep ini tetap kurang tepat. Mari kita analisa.
 
Pertama, kisah ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa pria dan wanita adalah sama-sama ciptaan Allah. Karena merupakan ciptaan Allah, maka tentu saja natur mereka ditentukan BUKAN oleh mereka sendiri atau ilmu-ilmu yang manusia ciptakan, tetapi oleh Allah sebagai Pencipta mereka. Sungguh suatu ketidakmasukakalan jika ingin mengetahui natur manusia dari manusia dan ilmu-ilmu yang diciptakan oleh manusia berdosa! Allah yang menciptakan mereka adalah Allah yang menetapkan natur bagi mereka. Allah yang sama juga adalah Allah yang mengerti totalitas manusia yang diciptakan-Nya, entah itu karakter, dll. Di dalam karya penebusan dan pengudusan terus-menerus, Allah yang sama, yaitu Roh Kudus yang memurnikan iman, karakter, dan spiritualitas anak-anak-Nya agar kita makin serupa dengan Kristus, Kakak Sulung kita. Kembali, Allah ikut terlibat di dalam setiap inci kehidupan kita. Dari konsep ini, kita bisa belajar bahwa jodoh BUKAN hanya merupakan tanggung jawab manusia yang lepas dari pimpinan Tuhan! Bagaimana dengan integrasi keduanya, yaitu kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia? Kita akan membahasnya di poin kedua.
 
Kedua, jika kita membaca dengan jelas Kejadian 2:18-25, kita akan melihat dengan jelas bahwa di titik pertama, di ayat 18, Allah sudah mengetahui bahwa Adam tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang penolong yang sepadan dengan dia. Allah tentu SUDAH mengetahui bahwa penolong yang sepadan tentu bukanlah binatang, tumbuhan, dll, tetapi manusia. Lalu, mengapa di ayat 19-20, Ia membawa binatang kepada manusia untuk dinamai, lalu manusia mengatakan bahwa itu semua tidak sepadan dengan dia? Apakah Allah ingin bermain-main dengan manusia? Ataukah Allah tidak tahu dan spontan “kaget” kalau apa yang dikatakan manusia di ayat 19-20 itu bertolak belakang dengan rencana-Nya? TIDAK! Allah sudah mengetahui segala sesuatu karena Ia adalah Allah. Tetapi, Allah yang Mahatahu tidak mematikan tanggung jawab manusia! Sehingga, meskipun Allah tahu, Ia tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Saya berani menafsirkan bahwa pertanggungjawaban manusia sebagai umat pilihan-Nya ini adalah reaksi terhadap anugerah Allah. Alkitab mengajar dua paradoks ini dan itulah yang dipegang oleh theologi Reformed yang seimbang dan menyeluruh, meskipun rasio manusia tidak akan pernah mengerti semuanya secara sempurna. Misalnya, penyaliban Tuhan Yesus itu merupakan tindakan Allah atau manusia? Jawabannya: Allah dan manusia. Pada waktu pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta, Rasul Petrus ketika dipenuhi Roh Kudus berkhotbah kepada orang-orang yang berkumpul di Yerusalem, “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.” (Kis. 2:23) Di ayat ini, kita mendapatkan gambaran jelas bahwa penyaliban Kristus terjadi menurut maksud dan rencana-Nya sekaligus tindakan manusia. Tidak ada pertentangan antara kehendak Allah dan kehendak manusia. Di dalam Alkitab, itu semua menjadi satu. Dari sini, kita pun belajar juga bahwa seluruh aspek kehidupan manusia juga ada di dalam rencana Allah yang berdaulat dan tetap menuntut pertanggungjawaban manusia. Contoh, tentang kebiasaan atau tindakan buruk yang kita lakukan. Kita sering terlambat mengajar atau pergi kuliah, lalu jangan memakai dan memberikan alasan kepada anak didik atau dosen bahwa keterlambatan kita pun ditetapkan oleh Allah! Itu dosa, karena melemparkan tanggung jawab kita kepada Allah. Memang, Tuhan mengetahui keterlambatan kita dan mungkin sekali Tuhan mengizinkan hal itu terjadi supaya kita belajar sesuatu, tetapi tidak berarti, Tuhan yang harus dipersalahkan ketika kita terlambat. Keterlambatan kita TETAP adalah tanggung jawab kita. Tuhan hanya mengizinkannya terjadi (tidak berarti Ia menetapkan)!
 
Kalau kita terapkan konsep ini di dalam konsep tentang jodoh, maka kita akan mengerti dua hal:
Pertama, Allah memberikan kepada kita pasangan hidup yang tepat. Sebagai umat pilihan-Nya, kita harus mengetahui bahwa segala sesuatu ada di dalam rencana kekal Allah yang berdaulat, termasuk jodoh kita pun, karena Ia yang menciptakan dan memelihara kita, tentulah Ia yang sama mengenal pribadi kita jauh lebih dalam daripada kita atau orangtua atau siapa pun yang mengenal kita (mengutip perkataan seorang hamba Tuhan di dalam sebuah acara tanya jawab di sebuah siaran radio rohani di Surabaya). Karena Ia telah mengenal kita, Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan dengan kita. Penolong yang sepadan itu adalah penolong yang saling melengkapi kita untuk saling bertumbuh di dalam Kristus. Saling melengkapi ini TIDAK harus diterjemahkan bahwa kita harus memberi (altruistik) kepada pasangan kita. Saling melengkapi juga bisa berarti saling belajar satu sama lain. Mengapa? Karena ketika kita hidup di dunia tidak ada yang namanya orang sempurna yang hanya bisa memberi, tanpa mau belajar dari orang lain. Kita semua sebagai anak-anak-Nya harus terus bertumbuh di dalam Kebenaran Firman menuju ke arah kesempurnaan di dalam Kristus, Kakak Sulung kita. Perhatikanlah, orang yang terus menekankan (dan mendengarkan) pengajaran bahwa kita harus saling memberi tanpa mau saling belajar adalah orang yang sombong dan egois, suka mencari kejelekan dan kelemahan orang lain, tetapi ketika dirinya ditegur, dia akan memakai segudang argumentasi (bahkan argumentasi “theologis” dan filosofis) untuk menutupi kelemahannya. Ya, itulah realitas manusia berdosa: suka melihat kejelekan orang lain, tetapi tidak suka kejelekannya dinyatakan. Sudah saatnya, orang Kristen sejati yang beres tidak meniru logika orang dunia yang berdosa, tetapi kembali kepada Kristus, siap dan rendah hati menerima teguran dari orang lain yang membangun.
 
Kedua, Allah memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah Ia tetapkan. Kembali, setelah kita mengerti bahwa Ia yang mencipta kita dan Ia akan memberikan kepada kita penolong yang sepadan, lalu, apakah berarti kita diam saja tidak berbuat apa-apa dalam memilih jodoh? TIDAK! Ingatlah, kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Meskipun Ia telah mengetahui dengan siapa kita berjodoh, Ia tidak mematikan tanggung jawab manusia. Malahan Ia berpartisipasi aktif memimpin kita di dalam memilih pasangan hidup yang telah ditetapkan-Nya. Bukan tugas kita untuk menghakimi standar penilaian-Nya atas pasangan hidup kita, tetapi yang diperlukan oleh seorang anak Tuhan sejati adalah percaya dan taat mutlak akan pimpinan Tuhan di dalamnya. Saya pernah bertanya langsung tentang masalah pasangan hidup ini kepada Prof. John M. Frame, D.D. melalui Facebook dan beliau menjawab pertanyaan saya dengan jawaban sebagai berikut:
Certainly God predestines everything that happens (Eph. 1:11), including who we love and marry. Some people believe that each of us has a "soulmate," a kind of ideal marriage partner. I don't know that that is true. Since this is a fallen world, I think all people have problems, and therefore no relationship or marriage can ever be problem-free. But of course some people make better marriage partners than others, and single people should pray that God will lead them to a person who can complement them and lead them to fulfill their God-given potential.
That means that marriage is a human choice, and we should make it wisely. It is a choice predestined by God, but that does not detract from the importance of our choice. God's sovereignty and man's responsibility do not compromise one another, according to Scripture. (=Tentu saja Allah mempredestinasikan segala sesuatu yang terjadi (Ef. 1:11), termasuk kepada siapa kita mencintai dan menikah. Beberapa orang percaya bahwa setiap kita memiki seorang “pasangan hidup,” semacam pasangan pernikahan yang ideal. Saya tidak tahu bahwa itu benar. Karena dunia ini adalah dunia berdosa, saya pikir semua orang memiliki masalah-masalah, dan oleh karena itu tidak ada hubungan lawan jenis atau pernikahan yang bisa bebas dari masalah. Tetapi tentu saja beberapa orang memilih pasangan hidup yang lebih baik dari orang lain, dan orang yang masih lajang harus berdoa supaya Allah memimpin mereka kepada orang yang sepadan dengan dia dan memimpin mereka menggenapi potensi yang Allah berikan kepada mereka. Itu berarti bahwa pernikahan itu adalah pilihan manusia, dan kita harus mengusahakannya dengan bijaksana. Itu adalah pilihan yang dipredestinasikan oleh Allah, tetapi itu tidak mengurangi pentingnya pilihan kita. Kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia tidak dapat berkompromi satu dengan yang lain, sesuai dengan Alkitab.)
 
Jika kita sudah mengerti bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan dipertanggungjawabkan oleh manusia, apakah jika demikian, kita tidak perlu memiliki standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita? Tentu TIDAK! Kita boleh dan perlu menentukan standar di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Terlebih lagi, kita juga perlu mempertimbangkan saran dan petuah yang baik dari orangtua, teman, dll. Tetapi di atas semuanya, kita TIDAK boleh memberhalakan standar apa pun baik dari diri, orangtua, teman, dll. Kita harus menjadikan standar Allah sebagai standar yang paling penting dan mutlak di dalam memilih lawan jenis bagi calon pasangan hidup kita. Dengan kata lain, kita harus terbuka pada setiap gerakan pimpinan Roh Kudus yang kadang kala mendadak/tiba-tiba yang melampaui rencana dan pemikiran yang telah kita standarkan tersebut. Berarti, di dalam memilih calon pasangan hidup kita pun, ada dinamika hidup yang dipimpin Roh Kudus. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca buku atau/dan kaset Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) dari Pdt. Dr. Stephen Tong yang berjudul Dinamika Hidup dalam Pimpinan Roh Kudus. Jika Tuhan sudah memimpin kita dengan lawan jenis tertentu sebagai calon pasangan hidup kita, sudah seharusnya kita berani menyangkal diri dengan pilihan yang kita anggap baik (tetapi tidak baik dan tidak benar menurut kehendak Allah) dan mencoba mendekati dengan lawan jenis tersebut. Jangan mencoba-coba melawan kehendak-Nya, karena melawan kehendak-Nya berarti dosa. Pekalah terhadap seluruh pimpinan Roh Kudus di dalam setiap aspek kehidupan kita, termasuk memilih calon pasangan hidup.
 
Semua aplikasi praktisnya akan kita pelajari di poin setelah ini.
 
Aplikasi dan Akibatnya
Jika kita telah mempelajari dua konsep di atas, bagaimana kita mengaplikasikannya? Apa pula akibatnya?
 
Setelah kita mengerti bahwa jodoh itu adalah dipimpin Allah dan tetap dipertanggungjawabkan manusia, maka ada beberapa aplikasi praktis yang harus kita (para cowok) perhatikan:
1.           Bina Hubungan Pribadi Anda dengan Allah Melalui Firman, Doa, dan Pengalaman Pribadi
Konsep pertama mengaplikasi konsep terakhir ini adalah konsep membangun hubungan pribadi kita dengan Allah. Jika kita ingin mengerti kehendak dan rencana Allah di dalam hal jodoh, tidak ada jalan lain, kecuali kita harus secara teratur membangun hubungan pribadi dengan Allah. Tentu, motivasinya bukan supaya kita mengerti pimpinan Allah di dalam hal jodoh saja, tetapi hal ini kita harus lakukan setiap hari. Ketika kita terus membangun hubungan pribadi dengan Allah, kita akan semakin mengenal kehendak dan pimpinan-Nya yang terbaik. Membangun hubungan pribadi dengan Allah bisa dilakukan dengan tiga sarana, yaitu: Alkitab, doa, dan mengalami-Nya. Melalui Alkitab, kita mengerti apa yang dikehendaki-Nya, yaitu: kekudusan, kebenaran, kemurnian/ketulusan, cinta kasih, keadilan, kejujuran (bukan kemunafikan), dan kesungguhan hati. Melalui doa, kita makin mengenal Allah dan kehendak-Nya dengan terus bercakap-cakap dengan-Nya. Jangan pernah berpikir bahwa doa itu hanya satu arah komunikasi, yaitu kita yang terus berkata-kata dengan Allah. Di dalam doa, harus ada dua arah komunikasi, yaitu kita berbicara kepada Allah dan Allah berbicara dengan kita. Di dalam doa itulah, kita merasakan hadirat Allah yang nyata. Sayang, gereja-gereja Protestan arus utama tidak merasakan hangatnya bersekutu dengan Allah yang hidup. Mereka hanya tahu liturgi, liturgi, dan liturgi, tetapi tidak menghidupi Firman. Dan terakhir, kita membina hubungan pribadi dengan Allah melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ketika kita sudah memakai sarana pertama dan kedua, kita mulai mengalami-Nya di dalam hidup kita sehari-hari. Ini bukan sekadar teori, saya sudah mengalaminya langsung. Roh Kudus yang telah mewahyukan Alkitab adalah Roh Kudus yang sama telah mencerahkan hati dan pikiran saya tentang banyak hal, khususnya mengenai pengenalan akan Allah. Jangan biarkan iman Kristen hanya merupakan sekumpulan doktrin mati, tetapi hidupilah iman Kristen melalui Alkitab dan pengalaman kita bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus hidup mengalami-Nya sesuai Firman-Nya, hidup kita akan dipenuhi dengan limpahan sukacita yang tak terhingga.
 
2.           Biarkanlah Alkitab dan Roh Kudus Memimpin Anda dalam Mencari Pasangan Hidup Melalui Hubungan yang Akrab Terlebih Dahulu
Setelah kita membina hubungan pribadi dengan Allah, kita harus dengan rendah hati, membiarkan apa yang telah kita lakukan itu memimpin hidup kita. Apa yang telah kita pelajari melalui Alkitab, doa, dan pengalaman hidup bersama Roh Kudus melalui pimpinan-Nya hendaklah memimpin hidup kita terutama ketika kita mencari dan menemukan pasangan hidup. Sebelum masuk ke dalam mencari dan menemukan pasangan hidup, biasakanlah memiliki kepekaan Roh di dalam melihat lawan jenis. Kepekaan Roh yang saya maksudkan bukanlah seperti yang diajarkan oleh mistisisme “Kristen,” tetapi kepekaan Roh di sini adalah kepekaan yang Roh Kudus berikan di dalam mengenal lawan jenis. Apa yang saya paparkan di sini bukan hanya teori kosong. Saya sendiri mengalaminya, meskipun sampai sekarang belum menemukan pasangan hidup yang cocok.
Roh Kudus terus memimpin saya banyak hal untuk peka melihat lawan jenis dan menetapkan standar memilih pasangan hidup. Ketika saya masih sekolah di SMA “Kristen” di Surabaya, saya mulai tertarik dengan cewek. Karena masih SMA, saya masih seperti anak-anak yang menyukai cewek cantik menjadi pacar/pasangan hidup. Dulu sempat saya mendekati adik kelas waktu SMA, tetapi gara-gara kesalahan saya yang terlalu terburu-buru, akhirnya saya gagal. Roh Kudus terus memimpin saya kembali pada waktu kuliah khususnya memimpin cara pikir saya di dalam memilih pasangan hidup. Saya memiliki banyak teman ketika saya berkuliah di sebuah kampus “Kristen” di Surabaya. Roh Kudus terus memberikan kepekaan yang tajam untuk membentuk saya di dalam menjalin hubungan dengan teman lawan jenis. Kepekaan itu ditunjukkan dengan sikap dan reaksi saya memandang teman lawan jenis. Beberapa teman lawan jenis saya cukup cantik, tetapi entah mengapa Roh Kudus tidak memberikan sedikit rasa tertarik kepada beberapa teman lawan jenis itu (meskipun tidak semua). Jujur, waktu kuliah dulu, saya sempat menaksir seorang teman lawan jenis satu jurusan yang saya pikir dia itu baik, cantik, manis, dan cinta Tuhan (terpenting: saya melihat dia adalah orang yang dapat diajar/teachable/rendah hati). Cewek ini bukan hanya sekadar Kristen, tetapi ia adalah orang Kristen yang melayani Tuhan sambil terus belajar Firman Tuhan. Saya sudah mengenal dia (meskipun belum 100% sempurna) karena sering duduk di dekat dia dan berkomunikasi dengannya di dalam setiap kelas selama beberapa semester. Tetapi sayangnya, saya belum berani mengungkapkan hal itu kepadanya dan mungkin sekali dia hanya menganggap saya teman baik. Mungkin di balik itu, Roh Kudus kurang berkenan akan hal itu.
 
3.           Libatkanlah Allah di dalam Segala Proses Pendekatan yang Kita Lakukan
Setelah kita (cowok) menjalin hubungan dengan lawan jenis (cewek), kita baru mulai mendekati lawan jenis yang kita sukai. Di dalam proses pendekatan ini, kembali, jangan pernah lupa untuk terus melibatkan Allah di dalam segala proses pendekatan kita. Kita tetap mendekati lawan jenis yang kita sukai. Kita harus mengupayakannya dengan berbagai cara yang etis, sopan, dan tidak mengganggu. Tetapi jangan pernah berpikir bahwa karena kita telah berusaha keras, maka ketika kita berhasil atau pun gagal, itu semua karena usaha kita sendiri. Jangan pernah memuji usaha kita sendiri di dalam segala sesuatu! Libatkanlah Allah! Berdoalah kepada Allah dan mintalah bijaksana-Nya untuk menentukan apakah dia adalah pasangan hidup kita sesuai kehendak-Nya. Bagaimana caranya? Belajarlah peka akan pimpinan Roh Kudus ketika sedang menjalin hubungan dekat dengan satu lawan jenis baik melalui komunikasi langsung (bertemu langsung) maupun komunikasi tidak langsung (melalui telepon, SMS, chatting, e-mail, dll). Roh Kudus akan memimpin (dalam arti: memberi bijaksana) kita menilai lawan jenis yang kita dekati ini, sampai sejauh mana lawan jenis ini mencintai Tuhan. Utamakan unsur cinta Tuhan! Jangan pernah menganggap bahwa karena lawan jenis yang kita dekati berada di gereja yang sama dengan kita membuktikan bahwa dia juga cinta Tuhan. Cinta Tuhan TIDAK diukur dari aktif pergi ke gereja. Cinta Tuhan diukur dari kerelaan, kerendahan, dan kemurnian hati di dalam mengasihi dan melayani-Nya. Mengasihi dan melayani-Nya ditandai dengan kemurnian, kesungguhan, dan kerendahan hati kita menempatkan Allah sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita dan juga melayani-Nya seumur hidup kita. Jangan pernah tertipu oleh fenomena! Orang yang mengasihi Allah adalah orang yang mencintai Firman-Nya yang tentunya adalah orang yang sudah membaca Alkitab dari Kejadian s/d Wahyu dan berusaha menghidupi Firman yang telah ia baca (1Yoh. 5:2).
Bagaimana jika di dalam proses pendekatan ini, lawan jenis yang kita dekati ternyata sudah memberikan tanda-tanda bahwa ia tidak menyukai kita? Kembalikanlah itu semua kepada Allah dan kehendak-Nya. Jika Roh Kudus benar-benar memantapkan kita dengan lawan jenis yang kita sukai tersebut, maka kita harus mencoba bersabar mendekati si cewek itu, meskipun pada awalnya si cewek kurang responsif. Jangan pernah berputus asa. Tetapi jika Roh Kudus tidak memantapkan kita, jangan sekali-kali memantap-mantapkan diri kita sendiri (self-confidence/percaya diri), lalu terus mencoba mengejar cewek yang tidak diinginkan Allah.
 
4.           Bergumullah di Hadapan Allah Di Dalam Menerima Reaksi Lawan Jenis yang Kita Dekati
Jika kita (cowok) telah mendekati lawan jenis (cewek) yang kita sukai dengan cara-cara yang tepat, sopan, etis, dan tidak mengganggu, maka percayalah bahwa hasil dari pendekatan kita, apakah si lawan jenis itu menerima atau menolak cinta kita adalah kehendak Allah. Jika lawan jenis yang kita sukai ternyata sudah lebih dari satu kali menolak kita secara implisit (misalnya, ketika kita mengirim SMS atau menelpon dia, dia berkata bahwa dia sedang “sibuk”—bukan sibuk sungguhan), maka jangan pernah memaksa terus untuk mendekati dia. Mungkin saja, Allah tidak berkenan ketika kita mendekati lawan jenis yang kita anggap baik itu. Belajarlah peka akan hal itu dan percayalah bahwa kegagalan dan keberhasilan kita di dalam hasil setelah kita mendekati lawan jenis itu berada di dalam koridor pemeliharaan-Nya. Kalaupun lawan jenis yang kita dekati/sukai menolak cinta kita, percayalah Allah sudah dan sedang menyediakan bagi kita pasangan hidup yang lebih baik bagi kita, meskipun kadang-kadang tidak kita sukai secara fenomena. Tetapi apakah selalu berarti bahwa jawaban TIDAK dari si cewek menandakan bahwa Allah melarang kita berhubungan dengannya? TIDAK selalu. Di sini, kita harus peka. Jika kita yakin bahwa cewek yang kita pilih dan dekati ini adalah benar-benar dipimpin oleh Allah, maka kita terus berusaha mendekati dia meskipun dia sempat menolak cinta kita pertama kalinya. Lawan jenis yang telah Ia berikan kepada kita mungkin menolak pada kesempatan pertama, tetapi percayalah Roh Kudus akan membuka hatinya untuk menerima cinta kita, jika memang kita dan lawan jenis kita adalah pasangan yang dikehendaki-Nya.
Bagaimana jika lawan jenis kita menerima cinta kita? Bukankah ini suatu kecocokan? Apakah itu berarti Tuhan menyetujui hubungan kita dengan lawan jenis yang kita pilih? Mungkin ya, mungkin tidak. Gumulkan hal ini kembali di hadapan Tuhan, benarkah Allah menyukainya? Jika ya, teruskan hubungan kita dengan lawan jenis ini. Jika tidak, meskipun si cewek menerima cinta kita, taatlah kepada Tuhan dan pimpinan-Nya, jangan meneruskan hubungan sebelum kita menuai akibat yang tidak diinginkan.
 
Sebagai contoh nyata dari konsep ini adalah contoh yang saya ambil dari buku Rev. (Pdt.) Joshua Harris yang berjudul “Saat Cowok Ketemu Cewek” (Boy Meets Girl). Di buku ini, Rev. Joshua menceritakan pengalaman hidupnya sendiri dalam mengaplikasikan konsep ini. Dulu, waktu bekerja di gereja, beliau sempat menaksir seorang cewek, teman kantor gerejanya yang sudah lahir baru (sebut saja inisialnya: A). Pada suatu hari Minggu, di gerejanya, ada kesaksian dari seorang cewek yang baru bertobat (sekarang menjadi istrinya Shannon). Pada waktu itu, beliau tidak memiliki perasaan apa-apa dengan cewek yang baru bertobat ini, karena menurut pemikiran beliau, seorang yang baru bertobat belum bisa menjadi pasangan hidup bagi dirinya. Beliau bisa berpikiran begitu karena beliau ingin mendekati cewek A, teman kantor gerejanya tersebut. Tetapi selang beberapa lama, akhirnya Rev. Joshua mengetahui bahwa cewek A ternyata sudah memiliki pacar. Lalu, Allah membawanya untuk lama-lama mengenal Shannon ini, mencoba mendekatinya, berpacaran, dan akhirnya beliau menikah.
 
Dari kisah ini, kita belajar bahwa pasangan hidup BUKAN merupakan partisipasi kita 100% saja, tetapi juga merupakan partisipasi Allah di atas segalanya. Biarlah kita makin mengalami pimpinan Allah di dalam realitas mencari dan menemukan pasangan hidup sambil kita tetap berusaha sesuai dengan prinsip-prinsip Firman Tuhan.
 
Semua hal di atas adalah hal yang dilakukan seorang cowok yang aktif, bagaimana dengan reaksi cewek yang didekati? Cewek Kristen seharusnya adalah cewek yang lebih taat kepada Tuhan dan pimpinan Roh Kudus ketimbang perasaan diri mereka sendiri yang bisa saja salah. Ada beberapa hal yang harus cewek Kristen pertimbangkan ketika didekati oleh cowok Kristen?
1.           Berdoalah dan Minta Pimpinan Roh Kudus
Mayoritas cewek (atau mungkin bahkan semua) akan mengetahui bahwa jika ada seorang cowok yang mengirimkan SMS atau menelpon dirinya lebih dari satu kali secara teratur (misalnya: 1 minggu bisa 2-3x) itu berarti si cowok ada “hati” atau menaksir dirinya. Nah, beberapa (kebanyakan) cewek, apalagi banyak cewek postmodern (tidak semua) adalah cewek yang pragmatis, yang hendak memandang fenomena luar si cowok sebagai standar apakah si cewek juga suka atau tidak suka dengan si cowok. Jika si cewek suka dengan ketampanan si cowok, maka begitu si cowok mendekati dirinya, dia langsung meresponi, tetapi ketika si cewek ditaksir oleh cowok yang biasa-biasa, maka dia tidak meresponinya, bahkan menolak mentah-mentah. Cewek Kristen yang cinta Tuhan HARUS membuang semua unsur fenomena tersebut dan melihat esensinya. Tetapi hal ini TIDAK berarti cewek Kristen menerima semua cowok yang menaksirnya. Inti yang harus diperhatikan adalah bukan hal-hal fenomena, seperti, tampan, kaya, dll, tetapi hati. Untuk itulah, maka di titik pertama, saya mengatakan bahwa cewek yang didekati oleh seorang cowok harus berdoa meminta hikmat dan pimpinan Roh Kudus apakah cowok yang mendekatinya adalah cowok yang dikehendaki Allah atau tidak. Cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya untuk Tuhan melihat segala sesuatu dari perspektif Allah, sehingga setiap keputusan yang dibuatnya bukan berdasarkan perasaan sesaat, tetapi berdasarkan kehendak dan rencana-Nya yang berdaulat.
 
2.           Belajar Saling Mengenal (dan Dikenal)
Setelah berdoa dan meminta pimpinan Roh Kudus, cewek Kristen harus belajar saling mengenal dan dikenal. Artinya, cewek Kristen sejati adalah cewek yang hatinya terbuka, baik untuk mengenal cowok yang mendekatinya dan juga ia sendiri terbuka apa adanya tentang dirinya terhadap cowok yang mendekatinya itu. Di sini, kita melihat adanya hubungan saling mengenal (cowok mengenal cewek dan cewek mengenal cowok) yang dibangun bahkan sejak di dalam proses pendekatan. Saling mengenal adalah saling mengenal seluruh pribadi masing-masing, saling belajar, saling memberi masukan/nasihat, dll yang kesemuanya berdasarkan standar kebenaran Firman Tuhan. Jika di dalam proses pendekatan ini, banyak hal boleh terbuka, maka ketika berpacaran dan menikah kelak, perbedaan pola pikir, kebiasaan, dll bukan menjadi halangan yang berarti. Kecenderungan anak muda zaman sekarang adalah ketika mendekati lawan jenis, mereka tidak saling terbuka, akibatnya tidak heran, jika suatu saat mereka berpacaran dan menikah, mereka akan terkaget-kaget dengan kebiasaan lawan jenisnya yang berbeda dari apa yang sudah mereka ketahui pada waktu pendekatan.
 
3.           Putuskan Segala Sesuatunya Berdasarkan Pimpinan Roh Kudus yang Jelas
Jika di dalam proses pendekatan tersebut, kalian mendapati karakter si cowok ada yang kurang beres, apa yang harus kalian lakukan? Menolaknya mentah-mentah? TIDAK! Adalah suatu keputusan yang bijaksana jika para cewek: Pertama, mengklarifikasi standar karakter tersebut, apakah dari standar Allah atau standar umum (atau bahkan standar kebiasaan keluarga kalian)? Jika memang karakter si cowok tetap berada di dalam koridor kebenaran Alkitab, tetapi agak asing bagi kita yang mungkin belum terbiasa, biasakan kalian belajar dari si cowok. Jika karakter si cowok kurang beres di dalam hal-hal sepele (misalnya, mudah marah untuk hal-hal yang tidak penting, dll), biasakan juga menerima kekurangan si cowok sambil berusaha mengoreksinya. Nah, si cowok harus dengan rela hati dikoreksi. Tetapi jika karakter si cowok benar-benar tidak beres di dalam hal-hal esensial, si cewek harus menegurnya. Tetapi jika si cowok menolak teguran itu pertama kalinya, mintalah pimpinan Roh Kudus apakah kalian harus tetap meneruskan hubungan dengan si cowok ini atau segera menyudahinya. Mengapa harus meminta pimpinan Roh Kudus? Bukankah kita bisa langsung memutuskan hubungan saja dengan si cowok? TIDAK BISA! Jangan mengambil keputusan berdasarkan emosi sesaat! Biasakan melibatkan Allah di dalam mengambil keputusan. Mungkin saja, si cowok pertama kalinya sungkan atau tidak mau menerima teguran dari si cewek, karena cowok tersebut gengsi. Adalah tugas si cewek membukakan pola pikir si cowok untuk menerima kekurangannya sambil mengoreksinya dengan ketulusan dan kemurnian berdasarkan Firman Tuhan. Dan juga, si cewek pun harus berani rela dikoreksi jika si cowok mengoreksi dirinya. Jika si cowok ini merupakan pasangan hidup kalian kelak, maka Roh Kudus akan membuka hati dan pikiran si cowok ini pelan-pelan, sehingga si cowok dan kalian saling bertumbuh di dalam Kebenaran Firman.
Dari prinsip di atas, ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan di dalam proses pendekatan, baik cewek maupun cowok harus saling menghormati perbedaan yang fenomenal (sekunder) dan tidak saling memaksa. Perbedaan fenomenal/sekunder ini biasanya meliputi perbedaan cara berpikir, karakter, kerohanian, dll. Jika pada waktu pendekatan, cowok dan cewek saling menghormati perbedaan sekunder ini, maka mereka tidak akan menghadapi percekcokan kelak pada waktu berpacaran dan menikah. Percekcokan yang tidak berarti sering kali terjadi pada pasangan suami istri, misalnya perbedaan cara menggosok gigi, makan, kombinasi warna pakaian (baju dan celana/rok), dll. Mengapa bisa demikian? Karena dari tahap pendekatan, mereka tidak bisa saling menghormati satu sama lain, yang sering terjadi adalah si cewek yang kebanyakan mengatur si cowok bahkan untuk hal-hal sepele! Cewek Kristen harus bertobat dari kebiasaan buruk ini, belajarlah untuk tidak terlalu cerewet untuk hal-hal yang TIDAK PENTING!
Nah, setelah tahap pengenalan, maka si cowok pasti akan “menembak” si cewek yang didekatinya suatu saat. Sekarang, keputusan berada di tangan cewek. Adalah suatu hal yang bijaksana jika si cewek memberikan keputusan tersebut dengan bersandar pada hikmat dan pimpinan Roh Kudus, yaitu: menerima atau menolak si cowok yang mendekati kalian. Atau dengan kata lain, berdoalah meminta hikmat-Nya ketika hendak memberikan keputusan pada saat si cowok “menembak” kalian. Jika semuanya dilakukan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus dan prinsip Alkitab, maka tentunya cewek Kristen tidak lagi memakai standar-standar yang mereka bangun sendiri (misalnya, cowok ini “antik”, padahal antik yang kalian mengerti adalah antik dalam hal-hal sepele, tetapi kalian tidak mau mengerti mengapa dia antik dan mencoba mengubah keantikannya).
 
Lalu, apa akibat dari konsep terakhir ini? Karena kita percaya bahwa jodoh itu dipimpin Tuhan dan tetap dipertanggungjawabkan oleh manusia, kita tidak perlu kuatir bahwa kita akan salah jalan. Mengapa? Karena kita percaya bahwa Ia selalu memberikan kepada anak-anak-Nya pilihan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya, meskipun itu kelihatan “tidak baik” menurut kita. Iman inilah yang mengakibatkan kita tetap berusaha mencari dan mendekati lawan jenis sambil tetap berserah kepada Allah dan pimpinan-Nya. Ia memberikan kita bijaksana di dalam memilih pasangan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip firman-Nya, di sisi lain Ia menuntut kita berserah total akan pimpinan Allah di dalam pemilihan pasangan hidup itu. Itulah tandanya kita mengerjakan apa yang menjadi bagian kita dan menyerahkan apa pun yang melampaui bagian kita kepada Allah yang Berdaulat mutlak. Dan lihatlah bagaimana Allah bertindak dengan luar biasa dahsyat bagi kehidupan pernikahan kita kelak di mana nama Tuhan dipermuliakan selama-lamanya. Sudahkah Anda mengalaminya?
 
 
KESIMPULAN DAN TANTANGAN BAGI KITA
Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyerahkan hidup kita termasuk masalah pasangan hidup kepada Allah yang telah mencipta, memelihara, dan memberikan kepada kita pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya? Sekali lagi, Ia telah memberikan pasangan hidup yang sepadan kepada kita, namun Ia memimpin kita dengan memberi hikmat dan bijaksana-Nya kepada kita di dalam mencari dan menemukan pasangan hidup itu. Kesemuanya itu bertujuan hanya untuk kemuliaan Allah saja. Amin. Soli Deo Gloria.

Menikmati BERKAT


Melihat judul tulisan ini, kayaknya tidak berbobot atau pun bisa dikomentari sebagai sesuatu yang biasa atau datar saja. Namun apa yang tertulis itu, sebenarnya memiliki siratan filosofi yang dalam untuk bisa meski sekadar memahaminya. Mengapa?

Berbicara tentang berkat sungguh menarik hati. Apalagi kalau ditambahi dengan makna ‘menerima’. Maka setiap insan pasti ingin menerimanya, kalau perlu setiap hari. Namun kalau ditambahi dengan makna memberi, maka ada sedikit kerikil yang akan mengganjalnya untuk segera berkata, “Ya…,” dibanding saat menerima berkat.

Memang manusia lebih suka membuka kedua tangannya. Sebuah tanda bahwa ia lebih siap untuk menerima ssuatu. Padahal dalam kehidupan yang nyata tak meski demikian. Tangan sudah bersedia menerima, tetapi tak ada yang memberi, malahan harus memberi. Meski ini terpaksa.

Mengapa yach… kalau sesuatu itu sudah dalam genggamannya, begitu sulitnya untuk dibagikan? Ada yang berkata, “Memang sifatnya begitu!” “Coba lihat ayah ibunya juga begitu!” “Mungkin dapatnya susah kali yach…?” “Lha iyalah…, namanya juga keturunan pedagang.” “Kayaknya setelah menikah, baru pelit kok!” “Mungkin usahanya sepi.” Dan masih banyak alasan lainnya, yang membuat seseorang susah untuk berbagi dengan sesama. Yang pasti, saat ingin berbagi, pasti sedang memikirkan, “Apa yang bisa didapat setelah berbagi ini?”

Paling tidak memikirkan, nanti pasti Tuhan yang akan membalas. Apalagi kalau habis mendengar khotbah yang berkata, “Ini akan memiutangi Tuhan. Dan Tuhan tidak senang berutang kepada umat-Nya. Dia pasti membalas berlipat kali ganda. Percayalah…, Tuhan tidak mau berutang kepada kita.”

Benarkah Tuhan berutang berkat pada kita? Apakah tidak sebaliknya kita yang berutang kepada Tuhan? Dan ini tidak mungkin bisa terbayar sampai kita meninggalkan dunia ini. Lalu, apakah utang kita kepada Tuhan? Itu lho…, harga tiket masuk ke Sorga. Harganya tak ternilai yaitu darah Yesus yang tercurah di bukit Golgota. Bagaimana cara menikmatinya? Dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Maka kita akan menjadi berkat kapan pun dan di mana pun tanpa lagi menghitung untung dan ruginya secara hukum ekonomi dunia ini.

Orang yang memahami makna ini akan bisa menikmati berkatnya setiap hari. Bukan masalah menerima berapa banyak, namun bagaimana menikmatinya itu lebih penting. Jikalau oksigen yang kita hirup ini harus dibayar, seperti para pasien di ruang ICU rumah sakit, maka hidup kita akan diisi dengan bekerja mencari uang hanya untuk membeli oksigen setiap harinya. Kita lahir pun tidak pakai baju, apalagi bawa uang. Dan semuanya kita peroleh selama selang waktu saat menanti untuk antri ke liang lahat kembali. Namun mengapa berkat yang kita peroleh selama hidup ini, kok dirasa kurang terus? Cobalah melihat ke orang yang lebih menderita dari kita. Akan ada ucapan syukur yang mengalir dari bibir. Namun kalau melihat ke atas terus, maka akan menimbulkan ketidakpuasan bahkan ketamakan.

Dan pada Desember ini, kita memperingati kembali meluncurnya berkat yang bernilai kekekalan itu. Kalau kita mau percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, niscaya Sorga kelak akan dinikmati. Tuhan Yesus memberkati. 

 Oleh Pdm. Juanda. M.Th.



Sumber:

Tabloid Rohani Keluarga Bulan Desember 2010 hlm. 2.



Profil Pdm. Juanda:
Pdm. Juanda, S.Sos., M.A., M.Th. adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Rohani Interdenominasi Keluarga sekaligus melayani di Gereja Bethel Indonesia (GBI) House of Healing, Surabaya. Beliau pernah studi theologi di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) maupun di Sekolah Tinggi Theologi Bethany, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Sosial (S.Sos.) Komunikasi di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya; Master of Arts (M.A.) bidang Misiologi di Sekolah Tinggi Theologi Injili Indonesia (STII) Surabaya; Master of Theology (M.Th.) di Sekolah Tinggi Theologi Moria, Surabaya; dan mengikuti ujian negara M.Th. Theologi di STT Institut Injil Indonesia (I-3), Batu, Malang. Sekarang, beliau sedang menyelesaikan studi Doctor of Theology (D.Th.) di STII Yogyakarta dan Doctor of Missiology (D.Miss.) di Sekolah Tinggi Misiologia Yogyakarta.

JANGAN MENYEBUT YHVH SEMBARANGAN

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan.” (Matius 7:21-23).


Ayat ini menunjuk pengikut Yesus yang menyebut nama Yesus dengan ‘Kurios’ (Tuhan), kata mana dalam konteks Septuaginta (LXX, Tanakh dalam bahasa Yunani) digunakan sebagai terjemahan Adonai (yang ditujukan YHVH) dan untuk membaca nama YHVH dengan ‘Adonai’ agar tidak menyebutnya sembarangan. Ini menunjukkan bahwa baik YHVH maupun  Yesus diimani sebagai Tuhan oleh umat Kristen, apalagi dalam PL disebutkan “barangsiapa yang berseru kepada namaYHVH akan diselamatkan” (Yl.2:32) dan dalam PB hal sama ditujukan kepada Yesus bahwa “di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis.4:12)
Mengapa Ditolak?
Mengapa seruan orang-orang diatas ditolak Tuhan? Pasalnya mereka menyebut ‘Nama Tuhan’ namun ‘tidak melakukan kehendak Bapa’! Jelas disini, bahwa kehendak-Nya bukan asal menyebut ‘Nama-Nya’ (apalagi kalau menuliskan sendiri Nama Itu didahi sendiri [Why.14:1] dan bukan ditulis oleh Tuhan Yesus [Why.3:12]), tetapi menghormati dan memuliakan ‘pribadi dibalik Nama Kudus itu dan mentaati kehendak-Nya.’ Seperti diketahui, salah satu gejala aliran kultus abad XIX adalah usaha kembali ‘memulihan dan menyebutan nama YHVH (empat huruf tetragrammaton) yang dirintis Jehovah’s Witnesses.
Nama YHVH sejak awal sudah tidak dikenal ejaannya, bahkan inskripsi tertua yang ditemukan di Mesir menulis Nama Suci yang masih menggunakan aksara Ibrani kuno (Funisia) juga tidak menunjukkan ejaannya. Hukum ketiga menyebut “Jangan menyebut nama YHVH, Allahmu, dengan sembarangan” (Kel.20:7), apalagi disebutkan bahwa “menghujat nama YHVH, haruslah dihukum mati” (Im.24:16). Ayat-ayat itu membuat umat Yahudi Ortodok secara turun temurun menghindari penyebutan nama itu agar tidak menyebutnya salah dan melanggar kedua perintah itu.
Ketika ditawan di Babil, ditengah penyembahan berhala, rasa hormat untuk menguduskan nama itu menyebabkan orang yahudi tidak lagi menyebut Nama Suci YHVH sekalipun dalam Tanakh tercatat sekitar 6800 kali (Ketiv), Yahudi ortodok kemudian karena rasa hormat dan untuk memuliakannya mengucapkan (Qere) keempat huruf tetragrammaton ‘YHVH’ sebagai ‘Adonai’ (diterjemahkan Kurios dalam LXX, LORD dalam Bible, dan TUHAN dalam Alkitab), disamping ‘Adonai’ yang ada dalam Tanakh yang ditujukan Tuhan Israel (diterjemahkan Kurios dalam LXX, Lord dalam Bible, dan Tuhan dalam Alkitab. Adon artinya lord/tuan ditujukan a.l. raja). Agar dibaca sebagai ‘Adonai,’ dalam naskah Massoret, nama YHVH diberi tanda baca huruf hidup ‘a-o-a’ (huruf hidup Adonai). Namun, bila dalam Tanakh ada nama ‘Adonai YHVH’ maka agar tidak terjadi pengulangan dibaca ‘Adonai Elohim’ (diterjemahkan ‘Kurios Theos’ dalam LXX, ‘Lord GOD’ dalam Bible, dan ‘Tuhan ALLAH’ dalam Alkitab).
Karena tertulis dalam naskah Massoret, nama YHVH yang bertanda ‘a-o-a’ kemudian ada yang mengejanya ‘Jahovah’ tetapi karena dianggap masih mengandung separuh tetragrammaton diganti ‘Jehovah.’ Dalam terjemahan Inggeris KJV nama ini digunakan 4 kali, dan kemudian di kalangan Sacred Name Movement (SNM, Gerakan Nama Suci). Nama ‘Jehovah’ pertama kali digunakan oleh Jehovah Witnesses (JW/Saksi-Saksi Yehuwa) termasuk 273 nama itu yang dimasukkan ke dalam PB SSY (NW).
Naskah asli PB bahasa Yunani koine ditemukan sekitar 5000 copy dan tidak satupun memuat tetragrammaton (Why.19 hanya memuat digrammaton ‘hy’ dalam bahasa Yunani ‘ia,’ itupun mengutip pujian ‘haleluya’ dalam kitab Mazmur), bahkan sekalipun Yesus dalam doanya mengucapkan “Yang Di sorga: Dikuduskanlah nama-Mu” (Mat.6:9), Ia tidak mengucapkan nama YHVH melainkan menyebutnya dengan hormat sebagai ‘Bapa’ (Pater). Karena itu kalau Yesus, Para Rasul dan PB tidak menyebut nama YHVH samasekali melainkan menggantinya dengan panggilan kehormatan, apakah kita mau menyalahkan Yesus dan para Rasul?
Apa Ejaan yang Benar?
Bila empat huruf YHVH saja banyak orang tidak sepakat bagaimana mengejanya, apakah IHVH, IHWH, JHVH, JHWH, YHVH, atau YHWH, apalagi ejaan Nama Suci itu. Semula, dipelopori JW (SSY), digunakan ejaan ‘Jehovah’ namun banyak yang tidak setuju sehingga sejak tahun 1930-an berkembang aliran-aliran SNM yang menggunakan bermacam-macam ejaan tetragrammaton seperti JAHAVEH, JAHVAH, JAHVE, JAHVEH, YAHVE, YAHVEH, YAHWE, YAHWEH, YAHWAH, YAHOWAH, dll. Dapat dimaklumi mengapa Yahudi Ortodok dan LXX, dan PB tidak mengeja YHVH melainkan membacanya dengan sebutan kehormatan ‘Adonai/Kurios’ dan ‘Yesus’ memanggil dengan hormat ‘Pater’ (Bapa), karena tidak tahu ejaannya mereka kuatir terjadi penyebutan dengan ‘sembarangan’ seperti pemanggilan yang bermacam-macam itu yang semuanya rekaan dan belum tentu mencerminkan nama YHVH dengan benar bahkan artinya bisa makin jauh dari kebenaran. Apalagi kalau penyebutan ‘Nama Suci’ YHVH digunakan sebagai alat untuk melegitimasi Holy Scripture / Kitab Suci hasil plagiat karya terjemahan orang lain yang merupakan kebiasaan sekte demikian tentu ini contoh jelas mengenai ‘Menyebut YHVH Sembarangan.’ (Baca: Artikel Kitab-Kitab Suci Baru dalam www.yabina.org
Kebiasaan kalangan SNM adalah menggunakan naskah Bible yang ada kemudian mengganti nama ‘LORD, Jesus dan God’ dengan nama Ibraninya, juga beberapa nama dan kata lainnya namun dengan ejaan berbeda-beda. Dalam 60 tahun sejak ‘Holy Name Bible’ dicetak SNM (1950), sudah ada belasan versi diterbitkan kelompok-kelompok SNM yang berbeda yang menerbitkan versi sendiri. Yang menarik ada juga yang menyalahkan penggunaan ejaan nama Yahweh yang paling populer. ‘The Scriptures’ (1993) menggunakan Bible yang sudah ada kemudian mengganti LORD dengan YHVH (huruf Ibrani Kitab Suci). Bible kelompok SNM lainnya ‘Yahweh, The Besorah’ memplagiasi naskah The Scriptures (edisi 1998) dan mengganti tetragrammaton dengan aksara Ibrani Kuno (Funisia), bahkan versi ‘The Restored King James Version’ yang plagiat KJV, menggunakan tetragrammaton dengan tulisan Ibrani modern! Menyebut nama YHVH dengan sembarangan menghasilkan kebingungan karena tidak adanya kesepakatan dan kesehatian dalam mengejanya. Karena itu lebih terhormat dan mulia sikap Yahudi Ortodok yang membacanya sebagai ‘Adonai’ (LORD dalam Bible dan TUHAN dalam Alkitab) daripada bersepekulasi dengan ejaan yang salah.
Sebenarnya apakah benar bahwa nama YHVH adalah ‘nama diri’ yang berdiri sendiri, ‘berasal dari akar kata lain,’ atau bagaimana? Dan apakah semangat kembali keakar yahudi (Hebraic Roots Movement) benar-benar menemukan jawaban bahwa Nama Itu berakar yahudi? Biasanya nama sesembahan dipakai untuk menamai anak, dan sangat menarik untuk diketahui bahwa pada masa pra-Musa (kitab Kejadian), tidak ada nama orang yang mengandung komponen YHVH padahal yang mengandung nama ‘El’ banyak (Ismael, Israel). Ada juga yang mengemukakan bahwa Nama Itu sudah dikenal dalam inskripsi kuno sebelum Musa dalam bentuk tulisan paku, dimana ditemukan kata Yawi-ilum dan Yaum-ilum yang keduanya dianggap artinya ‘Yawi/Yau adalah ilum’ (Yawi/Yau is God), namun kemudian diketahui bahwa arti sebenarnya kata-kata itu adalah ‘Ilum itu milikku’ (God is mine). Ada juga tulisan ‘Ahu-yami’ yang mengkaitkan ‘yami’ dengan nama YHVH, tetapi ternyata kemudian bahwa yami adalah sebutan dan bukan nama. Ada juga usaha untuk mengkaitkan nama sesembahan Akkadia kuno ‘Ea’ dengan ‘Yah,’ namun ini disangkal karena YHVH diklaim sebagai sesembahan khas Israel dan berasal Sinai. (Hebrew Origin, hlm. 102 dst.)
Nama YHVH Berasal Sinai?
Musa baru mengenal Nama YHVH setelah diberitahukan kepadanya di Sinai (Kel.6:1-2), namun adakah petunjuk dari kitab lainnya dalam Tanakh? Disebutkan dengan jelas bahwa YHVH berasal dari Sinai a.l. dalam ayat: “YHVH  datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir” (Ul.33:2) “YHVH bergerak dari Seir … melangkah maju dari daerah Edom … Sinai.” (Hak.5:4-5), “Namanya Yah … Sinai bergoyang dihadapan Allah.” (Mzm.68:5,9). “Aku adalahYHVH, Allahmu sejak di tanah Mesir” (Hos.13:4 ), “Akulah YHVH … Aku menebus engkau dengan Mesir” (Yes.43:3), “Akulah YHVH … membawa mereka dari tanah Mesir” (Yeh.20:5-6), “Akulah yang menuntun kamu keluar dari tanah Mesir … firman YHVH” (Am.2:10-11).
Lalu, bagaimana dengan nama YHVH yang sudah ada dalam kitab Kejadian? Nama-nama itu ditulis ketika nama YHVH sudah dikenal Musa, karena diketahui dari tradisi Israel bahwa kitab Pentateuch (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) disebut sebagai kitab Musa sesudah Musa mengenal nama YHVH sehingga penulisan Nama Itu bukanlah ingatan historis melainkan ‘ingatan teologis.’ Dan jauh sesudah masa Musa mengenal nama itu baru ingatan teologis yang berkembang itu ditulis dalam Tanakh. Ini dimaksudkan agar YHVH tidak hanya menjadi ‘Tuhan eksklusif Israel,’ tetapi Ia juga ‘Tuhan semesta alam’ (Kej.2:4) dan ‘Tuhan umat manusia’ (Enoch = manusia, Kej.4:26).
Ujian iman Abraham/Ibrahim yang mengorbankan anaknya (Kej.22:1-2) dikenang di Arab Islam sebagai ‘perayaan Idul Adha’ termasuk tradisi sunat yang berawal dari perjanjian sunat dengan Abraham & keturunannya (Kej.17:10), tetapi nama YHVH yang tidak dikenal dalam tradisi Arab/Islam keturunan Ismael memperkuat bahwa nama itu baru dikenal Musa keturunan Ishak di Sinai. Fakta bahwa Para patriakh baru mengenal ‘El’ yang tenang ditunjukkan bahwa sebelumnya keturunan Abraham dan orang Kanaan bisa berdampingan dengan damai, setelah mengenal nama YHVH di Sinai, diawali pembebasan bangsa Israel dari Mesir, Kanaan dibasmi, dan timbul sifat agresif sebagian umat terutama Lewi untuk membela nama YHVH, bukan saja dalam melawan musuh Kanaan melainkan juga orang Israel (Kel.32:27-; Ul.33:8-11).
Tetapi bagaimana dengan nama ‘Yoshua’ dan ibu Musa ‘Yokhebed’ yang mengandung nama ‘Yo’? Yosua adalah nama baru yang diberikan Musa sesudah ia mengenal nama YHVH karena nama aslinya adalah ‘Hiskia bin Nun’ (Bil.13:8 band. Ul.32:44). Yoshua artinya ‘YHVH penyelamat’ dan itu terjadi setelah Israel keluar dari Mesir dan bertemu YHVH di Sinai. Mengenai Yokhebed ada yang mengemukakan bahwa nama itu mengandung nama ‘Yo’ (singkatan YHVH?) namun ini dipersoalkan karena tidak mungkin orang bisa menyingkat nama yang belum dikenal, jadi nama ‘Yo’ sebelum Musa belum mempunyai arti sebagai singkatan YHVH, dan kalau itu nama asli yang sudah dikenal maka tentulah YHVH bukan murni nama diri tetapi nama yang terbentuk dari nama lain ‘Yo.’ Dari kondisi ini lebih mungkin nama itu diberikan sebagai penghormatan kepada ibu Musa setelah Musa anaknya menerima wahyu dari YHVH dan menjadi pembebas Israel, sebab sebelum Musa mengenal nama YHVH (Kel.6:1-2), nama ibunya hanya disebut ‘perempuan Lewi’ (Kel.2:1), seorang perempuan biasa, namun sesudah tua dan beranak pinak dan setelah Musa mengenal nama YHVH baru disebutkan namanya Yokhebed (Yo adalah kemuliaan, Kel.6:19) sebagai penghormatan. Lagipula kalau Yo sudah tertuju kepada YHVH tentulah argumentasi yang menjadikan ayat Kel.6:1-2 sebagai kalimat bertanya karena lupa (yang biasa dikemukakan kalangan ini) menjadi tidak berarti karena masakan lupa sedangkan nama ibunya Musa yang masih hidup saat itu sudah dianggap mengandung nama YHVH, dan kalau sudah tahu nama YHVH selain El/Elohim/Eloah, buat apa Musa menanyakan lagi? (Kel.3:13).
Nama YHVH Berasal Arab?
Dengan mempelajari latar belakang sejarahnya, ditemukan petunjuk bahwa nama YHVH bukan asli bahasa Ibrani tetapi bahasa asing yang diperoleh Musa dinegeri asing. Ada yang mengemukakan sebagai nama sesembahan suku ‘Keni’ atau ‘Median,’ atau berasal kata Arab ‘hwy (hawah)’ (angin/storm) apalagi diketahui Sinai adalah daerah suku Median cucu Ketura, ada yang mendukung bahwa nama itu berasal akar ‘hyh/hayah’ (menjadi), dan ada pula yang menyebutkan bahwa YHVH adalah ringkasan ‘ehyeh asher ehyeh’ (Kel.3:14). Perlu disadari bahwa ejaan yang dipakai paling umum ‘YHWH/Yahweh’ juga diragukan Ibraninya karena dalam bahasa Ibrani modern yang diakui resmi tidak ada sebutan ‘w’ jadi kemungkinannya salah, apalagi YHVH dalam naskah Tanakh yang tertua awalnya ditulis dalam aksara Funisia yang kemudian disebut ‘Ibrani Kuno’ (Ketav Ashurit) sesudah abad XII SM setelah bahasa Ibrani tulisan mulai berkembang, sebelum kemudian digantikan dengan huruf yang dipengaruhi huruf pesegi Aram sebagai ‘Ibrani Kitab Suci’ (Ketav Meruba) pada masa Ezra.
Setidaknya ada berbagai panggilan singkat yang ditujukan YHVH seperti a.l. ‘Yo, Ye, Ya, Yeho’ ini jelas menunjukkan bahwa tradisi Yahudi benar kalau mengakui bahwa orang sudah tidak mengenal ejaan YHVH sehingga sulit diperkirakan, itulah sebabnya agar tidak menyebutnya salah dan sembarangan (Kel.20:7) maka Yahudi ortodok membaca huruf-huruf YHVH dengan hormat sebagai ‘Adonai’ (Tuhan) atau ‘Ha-Syem’ (Nama Itu). Ejaan YHVH hanya diucapkan oleh Imam Besar (Kohen Gadol) di Yerusalem setahun sekali sebanyak 10 kali pada perayaan Yom Kippur.
Dari pembahasan di atas maka jelas bahwa ‘YHVH  berasal dari Sinai.’ Kita tidak perlu merasa kecil hati kalau mengetahui bahwa ‘nama YHVH bukan murni nama diri’ karena yang penting adalah memuliakan ‘pribadi & kehendak’ yang punya Nama Suci itu dan bukan huruf-huruf Nama-Nya, demikian juga kita tidak perlu merasa rendah diri kalau ‘nama YHVH  ternyata berakar bangsa dan bahasa asing’ (apalagi dengan kemungkinan berakar Arab), karena YHVH adalah Tuhan semesta alam yang mencipta dan memiliki langit dan bumi termasuk semua bangsa dan bahasa yang ada di dalamnya.
Selama ribuan tahun tidak pernah ada firman dan wahyu melalui para Nabi PL, Imam Besar Eliezer (yang merestui LXX), dan Yesus (yang menggunakan LXX), yang menyebutkan bahwa ‘Yang Empunya Nama Suci Itu’ keberatan untuk penerjemahan dengan kata pengganti itu bahkan Yesus sendiri tidak pernah menyebut ‘Nama Itu’ kecuali dengan panggilan kehormatan ‘Bapa’ atau ‘El’ (Mat.27:46, dalam dialek Arab = Allah) hingga kerajaan Allah berkembang ke seluruh dunia dan firman-Nya terus diterjemahkan ke bahasa-bahasa dunia.
Yang menarik untuk dicatat pula adalah dua aliran pemuja nama YHVH, yaitu Saksi-Saksi Yehuwa dan Gerakan Nama Suci sekalipun ada kemiripan dalam sakralisasi nama itu namun ada juga perbedaannya yang mencolok. SSY menerjemahkan YHVH dengan Jehovah (Ind: Yehuwa) sedangkan SNM dengan Yahweh/Yahwe dan variasinya, namun di Indonesia SSY menerima dengan sukacita terjemahan ‘Allah’ untuk El/Elohim/Eloah dan Theos, sedangkan SNM alergi berat dengan yang berbau Arab dan menolak terjemahan itu (ini menunjukkan kadar Semitisme mania dan Arabisme fobia yang kuat), demikian juga SNM menolak kelahiran Messias dirayakan pada bulan Desember melainkan kebanyakan menentukan pada bulan September/Oktober, padahal SSY fobia total terhadap perayaan Natal.

Pendengar Dan Pelaku Firman Tuhan


“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
(Rm. 10:17)

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”
(Yak. 1:22)



Sebagai orang Kristen, kita tentu percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan yang merupakan satu-satunya standar kebenaran bagi iman dan praktik hidup Kristen. Kepercayaan kita ini tentu disertai dengan kehausan mendengar firman Tuhan yang menimbulkan iman (Rm. 10:17). Apakah cukup haus saja? TIDAK. Yakobus menambahkan, “setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah” (Yak. 1:19) Kata cepat di ayat ini TIDAK menunjukkan waktu (cepat atau lambat), tetapi menunjukkan suatu kesiapan. Kesiapan ini di sini berbicara mengenai kerelaan hati untuk mendengar firman Tuhan yang mengajar, mengoreksi, dan menghibur kita. Kerelaan hati di sini tentu berkaitan erat dengan kerendahan hati. Seorang yang rendah hati akan “mudah” mendengar firman Tuhan, meskipun firman Tuhan itu menegur dirinya. Contoh, setelah berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria, suami Batsyeba, raja Daud ditegur nabi Natan (2Sam. 12:1-12), lalu bagaimana reaksi Daud? Marahkah dia? TIDAK. Alkitab mencatat pengakuan yang jujur dari seorang raja yang takut akan Tuhan dan rendah hati, “Aku sudah berdosa kepada TUHAN.” (2Sam. 12:13)

Namun, fakta hari ini adalah banyak orang Kristen TIDAK suka mendengarkan firman Tuhan (khususnya pengajaran dan teguran), lalu menggantikan berita firman Tuhan dengan berita mimbar yang mengajarkan hal-hal yang mengenakkan telinga (2Tim. 4:3-4), seperti: ikut Tuhan pasti kaya, sukses, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk, dll. Mengapa? Karena hati mereka telah dikuasai (dan dibutakan) oleh ilah zaman ini (2Kor. 4:4). Lebih tajam lagi, sebenarnya yang mereka sembah selama ini bukan Allah, namun: kelebihan diri (tampan atau cantik), kebaikan diri, uang, jabatan, dll, sehingga tidak heran, ketika firman Tuhan menegur mereka, mereka langsung ngambek. Makin orang itu ngambek, makin terlihat bahwa selama ini yang mereka sembah BUKAN Allah Tritunggal, tetapi ilah-ilah lain.

Pertanyaan selanjutnya, cukupkah kita menjadi pendengar firman Tuhan saja? TIDAK. Karena fakta menunjukkan ada beberapa orang Kristen yang rajin mendengarkan firman Tuhan baik melalui khotbah mimbar di setiap kebaktian gereja maupun melalui seminar, rekaman MP3, DVD, dll, namun mereka makin sombong dan sok tahu. Ketika firman menegur mereka, mereka dengan yakin mengatakan, “Ya, saya tahu” atau “Ya, saya mengerti”, namun di kesempatan berikutnya, mereka mengulangi kesalahan mereka (tanpa merasa bersalah). Mereka lebih mudah percaya dengan teman-teman yang bukan orang percaya, ketimbang mendengarkan firman Tuhan dan teguran dari saudara seiman. Dengan kata lain, makin mendengarkan firman Tuhan, hidup mereka tidak diubah. Mengapa demikian? Karena hati mereka tidak murni. Hati manusia yang sudah tidak murni mengakibatkan sikap mereka juga tidak murni, sehingga tidak heran, makin mereka mengisi rasio mereka dengan pendengaran firman, hati mereka tetap kering dan hidup mereka tetap tidak menunjukkan adanya perubahan signifikan.

Hati yang tidak murni mengakibatkan mereka:
Pertama, meragukan firman Tuhan. Sikap meragukan firman Tuhan bukan hanya sekadar sikap akademis yang meragukan ketidakbersalahan Alkitab, namun juga menyangkut sikap praktis. Beberapa orang Kristen khususnya yang mengamini ketidakbersalahan Alkitab, namun faktanya mereka secara praktik meragukan kebenaran firman Tuhan. Bagi mereka, Alkitab terlalu ideal untuk dijalankan.

Kedua, bersikukuh pada pandangan sendiri. Orang yang di titik pertama secara praktis meragukan firman Tuhan tentu akan mengambil sikap bahwa firman Tuhan tidak bisa diaplikasikan, sehingga ia akan memiliki pandangannya sendiri dan yang lebih fatal, ia bersikukuh (ngotot) dengan pandangannya tersebut. Ia telah, sedang, dan akan menggantikan otoritas firman Tuhan dengan otoritasnya sendiri, meskipun secara perkataan, ia mengamini bahwa Alkitab itu tidak bersalah. Misalnya, Alkitab mengajar kita bahwa Allah itu berdaulat atas segala sesuatu, sehingga kita harus mengaitkan segala sesuatu dengan kehendak Tuhan, orang seperti ini biasanya mengerti firman Tuhan ini, namun secara praktik, ia mengerti kedaulatan dan kehendak-Nya itu sebatas apa yang cocok dengan dirinya. Yang lebih parah lagi, apa pun yang dia lakukan dikaitkan dengan kehendak Tuhan (memakai istilah-istilah “rohani”), padahal mungkin sekali sikapnya itu diizinkan Tuhan agar orang tersebut sadar bahwa sikapnya keliru (refleksi dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong pada Natal Akbar Surabaya 2010 pada tanggal 11 Desember). Makin mendengarkan firman, ia makin berdosa, karena ia menafsirkan apa yang tidak diajarkan Alkitab!

Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Sebagai pengikut Kristus, kita harus siap mendengar firman dan siap juga untuk menjalankannya, karena jika tidak demikian, kita menipu diri sendiri seperti seorang yang setelah mengamati mukanya di depan cermin, kemudian lupa bagaimana wajahnya tersebut (Yak. 1:22-24). Namun harus disadari bahwa TIDAK MUDAH untuk menjalankan firman Tuhan, karena saya menyadari bahwa terlalu banyak godaan yang membuat kita tidak menaati firman dan saya juga terus bergumul untuk menjalankan firman Tuhan. TIDAK MUDAH menjalankan firman Tuhan TIDAK berarti TIDAK BISA menjalankannya, karena ketika kita mengatakan TIDAK BISA, itu berarti kita tidak ingin menjalankannya. Namun tatkala kita berkata bahwa kita TIDAK MUDAH menjalankan firman, itu berarti kita bisa menjalankan firman meskipun itu sulit dan hal tersebut dimampukan melalui kuasa Roh Kudus. Dengan kata lain, ada PROSES yang harus kita jalani dan tentunya KOMITMEN dari diri kita untuk menjalankan firman Tuhan. Proses dan komitmen ini memampukan kita untuk mengintegrasikan antara mendengar dan melakukan firman:
Pertama, menyerahkan hati kita secara tulus kepada Tuhan. Kita harus menyadari bahwa problema tidak menaati firman adalah problema hati, sehingga alangkah bijaknya kita pertama kali berkomitmen menyerahkan hati kita secara tulus kepada Tuhan untuk dikoreksi-Nya.

Kedua, setelah mendengar firman, langsung berkomitmen menjalankannya. Orang yang hatinya sudah dimurnikan oleh Allah mengakibatkan ia akan memiliki komitmen yang kudus dan setia menjalankan firman-Nya setelah mendengar firman-Nya. Misalnya, jika firman mengajarnya untuk tidak berzinah, ia akan menyimpan itu di dalam hatinya dan kemudian langsung berkomitmen menjalankannya, bukan malahan mencari-cari alasan untuk tidak taat.

Ketiga, mau ditegur oleh saudara seiman dan berkomitmen untuk berubah. Meskipun kita telah berkomitmen, godaan entah dari dunia atau diri kita membawa kita untuk tidak menaati firman. Oleh karena itu, kita memerlukan saudara-saudara seiman kita yang lebih dewasa untuk menegur dan mengingatkan kita. Orang yang anti teguran membuktikan bahwa orang itu sombong dan sok tahu, lalu menganggap diri sendiri sebagai “Allah” yang tidak mungkin bersalah sedikitpun. Berhati-hatilah terhadap hal ini. Setelah ditegur, apa yang harus kita lakukan? Ada orang yang cepat mengerti dan menerima teguran dari orang lain, namun sayang ia kembali mengulangi kesalahan yang sudah ditegur orang lain tersebut (istilahnya: setelah tobat, kemudian kumat). Di sini, kita perlu belajar untuk BERKOMITMEN untuk mau ditegur jika salah dan setelah itu berubah.

Keempat, berkomitmen untuk hidup berintegritas. Setelah mendengar firman, ditegur oleh saudara seiman, maka kita belajar BERKOMITMEN untuk menjalankan apa yang telah kita percayai dan ketahui dengan sebisa mungkin konsisten, tegas, tidak gila hormat, dan tidak bermuka dua (alias tidak munafik). Itulah tanda hidup berintegritas seperti yang dituturkan oleh Maimunah Natasha, Direktur Eksekutif Nasional dari Haggai Institute di Indonesia, “Pribadi yang berintegritas adalah seorang pribadi yang hidup tanpa menggunakan kedok dalam hidupnya. Ia akan bertindak sesuai dengan ucapan yang dipikirkan, akan sama di depan dan di belakangnya. Ia akan konsisten antara apa yang diimani dan perilakunya, antara sikap dan tindakan, antara nilai hidup yang dianut dengan hidup yang dijalankan. Ia adalah seorang yang matang, tidak kompromi, dan menolak pengakuan untuk dirinya sendiri.”


Bagaimana dengan kita? Maukah kita hari ini berkomitmen menjalankan firman Tuhan, meskipun itu sulit? Maukah kita dipimpin Roh Kudus untuk bisa konsisten menjalankan firman Tuhan? Amin. Soli Deo Gloria.

oleh: Denny Teguh Sutandio

Doa Untuk Anda

Apakah Anda Ingin mendapat kiriman text Doa-Satu-Menit setiap hari ? Kirim Email Kosong ke : doa-satu-menit-subscribe@yahoo.com
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Matius 6:33)

Jika Kamu di Surabaya, Stay Tuned at

  • Bahtera Yuda at 96.4 MHz
  • Bethany FM at 93.8 MHz
  • Nafiri FM at 107.10 MHz

Firman Tuhan Untuk Anda

"Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." (Yohanes 6:51)




Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku. (Yohanes 10:14-15)




“Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)




Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya" (Yohanes 11:25-26)




Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. (Yohanes 15:16)




“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakan lah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:6-7)




-----000000------00000------00000---------