Masih belum menemukan apa yang Anda cari? Masukkan kata kunci pencarian Anda untuk mencari artikel yang ada di Blog ini:

Jodoh Yang Sesuai Kehendak Tuhan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Mengasihi Diri Sendiri

Mengasihi Diri Sendiri

BERSYUKUR KARENA DISELAMATKAN

BERSYUKUR KARENA DISELAMATKAN

e enjte

MENGKRITISI YANG DIURAPI




MUNGKIN judul di atas dianggap tak lazim oleh sekelompok orang. Bagi yang lainnya, berpikir tentang apa yang dimaksud dalam kata yang diurapi. Tapi mungkin ada juga yang dengan segera akan berkata, “Ini tidak benar!” Setiap pendapat terhadap sebuah judul itu biasa, tapi akan menjadi sangat menyedihkan jika tak membaca tuntas. Mari kita mulai dengan kata-kata “yang diurapi”, yang sekarang ini sering kali dipakai dalam lingkungan orang Kristen, khususnya menyangkut hamba-hamba Tuhan yang dianggap hebat oleh dan dengan ukuran umat. Istilah lagi ngetop, naik daun, di kalangan para selebritis, ternyata menyelinap ke dalam dunianya pengkhotbah. Sehingga pengkhotbah kini disorot dari aspek populernya, jumlah undangan khotbahnya, dan tentu saja luas area khotbahnya. Sayangnya semua penilaian tentang pengkhotbah sering kali mengesampingkan asas yang justru terpenting, yaitu kehidupan moralnya, perilaku ekonominya, dan keluarganya. Pengkhotbah kini dijadikan sebagai pengundang masa. Maklum, sebuah ibadah terbilang sukses jika pengunjungnya membeludak. Ibadah adalah kuantitas, bukan lagi kualitas.

Nah pengkhotbah yang populer itu disebut sebagai hamba Tuhan “yang diurapi”. Dalam Perjanjian Lama (PL), kata diurapi secara asasi menunjuk kepada tindakan ilahi. Itu sebab mereka yang diurapi adalah yang memiliki jabatan nabi (1Raj. 19:16), imam (Kel. 28:41), raja (2Sam. 2:4), dalam pengertian ditahbiskan sebagai alat khusus bagi Allah. Begitu juga jika menyangkut benda tertentu, seperti tabut perjanjian dan perkakas bait Allah, diurapi yang berarti dikhususkan sebagai alat yang suci. Tetapi ingat, bukan alatnya yang suci, melainkan tujuan pemakaian alatnya. Itu sebab Allah akan murka jika umat mengultuskan benda apa pun, sebagaimana diatur dalam 10 hukum. Dalam pengurapan digunakan minyak yang dibuat dengan aturan yang ketat, begitu juga penggunaannya (Kel. 30:25). Orang yang membuat minyaknya sembarangan, atau menggunakannya sembarang-an akan dihukum mati (Kel. 30:33). Minyak yang dicurahkan dari buli-buli ini adalah merupakan simbol Roh Kudus.
Begitu juga dalam Perjanjian Baru (PB), minyak urapan merupakan simbol dari Roh Kudus. Dalam praktek masa kini, gereja membaptis umat dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dengan memakai air, juga adalah simbol dari Roh Kudus. Artinya, minyak adalah simbol, bukan benda magis. Tetapi tujuannya, yaitu pengurapan adalah suci. Maka siapa yang sembarangan Tuhan akan menghukumnya. Bentuk hukuman di era PL terus bergerak dinamis hingga ke era PB. Misalnya di PL yang sembarangan akan dilenyapkan (dihukum mati), tidak lagi di PB, tetapi tetap menjadi orang yang terhukum di hadapan Allah. Bentuk hukumannya yang berubah. Karena itu mengultuskan minyak sebagai benda magis adalah sebuat tindakan jahat, yang sama sekali tidak kristiani. Allah-lah sumber berkat, sumber penyembuh bagi umat-Nya, dengan atau tanpa minyak urapan.

Nah, sekarang pada hamba yang diurapi. Yang pertama, jika menyangkut gelar maka itu hanya ada satu, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Kristus artinya Yang Diurapi). Jadi sangat mengerikan jika orang Krsiten memakai kata yang diurapi tanpa memahami arti kata itu sebagai gelar. Karena itu, mengingat hal ini bisa rancu, lebih baik hamba Tuhan disebut saja hamba yang sungguh-sungguh. Sementara yang kedua, jika itu menyangkut penahbisannya, maka semua pendeta ditahbiskan, yang berarti diurapi (dengan penumpangan tangan sebagai simbol berkat Allah Bapa, Anak, Roh Kudus). Artinya, tidak ada pendeta yang tidak diurapi (kecuali memang seseorang yang hanya mengaku, namun tidak jelas institusi gerejanya). Nah, dengan begini menjadi jelas bagi kita memahami arti kata “yang diurapi” dan bagaimana pemakaian yang bertanggung jawab dan tepat.

Sekarang bagaimana dengan kata jangan mengusik hamba yang diurapi Tuhan, yang membuat jemaat takut mengkritisi hamba Tuhan, bahkan yang jelas-jelas salah? Sembarang mengkritik, apalagi memfitnah seorang hamba Tuhan, tentu tak elok. Jangankan seorang hamba Tuhan, terhadap semua orang hal itu jelas tidak baik. Namun sebaliknya, mendiamkan kesalahan, atau tindakan tak terpuji, adalah perbuatan salah, termasuk jika yang salah itu adalah seorang hamba Tuhan sekalipun. Saling mengingatkan, menegur, untuk membangun, adalah semangat tubuh Kristus yang sehat. Namun memang perlu aturan yang jelas terhadap seorang hamba Tuhan. Teguran bisa dilakukan oleh tim hamba Tuhan, atau mereka yang dituakan dalam jemaat. Hamba Tuhan yang baik pasti tidak keberatan, karena teguran dalam kebenaran adalah kasih yang mendidik.

Memakai kasus Daud dan Saul, di mana Daud berkata, “Jauhlah dariku membunuh orang yang diurapi Tuhan, sangatlah tak layak”. Daud jelas menyatakan sikap melawan atas perilaku Saul yang semena-mena. Pelarian Daud dari hadapan Saul menjadi sikap yang mudah dibaca dan dipahami. Yang tak ingin dilakukan Daud adalah membunuh Saul, yang diurapi (ditahbiskan menjadi raja) oleh Tuhan sendiri. Daud menyerahkan soal hidup mati, atau pergantian posisi menjadi raja di antara mereka, kepada Tuhan sebagai yang berhak. Jadi, ini bukan soal Daud tidak menegur, atau tidak menyatakan sikap, sangat beda. Jadi, kasus Daud tak boleh dijadikan contoh agar tak menegur hamba Tuhan yang salah. Mengusik hamba Tuhan, memang tak disukai oleh Tuhan, jika itu dilakukan oleh orang tak benar. Dan sebaliknya, hamba Tuhan yang benar tentu tak perlu ditegur, yang perlu adalah hamba Tuhan yang tidak benar. Dalam ketidakbenarannya si hamba Tuhan telah menunjukkan bahwa dia bukan seorang hamba Tuhan. Namun jika seorang hamba Tuhan berbuat salah, dan me-ngakuinya, maka sudah seharusnya sikapnya dihargai. Yang perlu ditegur adalah hamba Tuhan yang mencari keuntungan diri atau cacat moral namun bersikap seakan tak salah. Di sinilah letak persoalan integritas, yaitu ketika orang berusaha menyembunyikan dirinya dari kesalahan dengan cara bersembunyi di balik ayat-ayat suci yang dipelintir. Seorang hamba Tuhan yang berintegritas tak perlu resah dikritik. Karena hamba Tuhan yang berintegritas pastilah seorang yang berkualitas.

Mengkritisi sebutan hamba Tuhan yang diurapi menjadi signifikan di situasi di mana terjadi degradasi moral di lingkungan gereja. Seperti Yesus menyucikan Bait Suci yang ternyata tak lagi suci, begitulah kita di zaman ini dituntut untuk berani menyucikan diri dengan sikap mengkritisi diri sendiri. Mari mengintropeksi diri agar tak rajin bersembunyi di balik ayat-ayat suci sebagai tameng diri. Untuk itu jagalah perilaku hidup, perilaku ekonomi, perilaku sosial, sehingga orang percaya hadir nyata, bukan sekadar pemanis agama. Apalagi bagi yang berani berdiri di mimbar agama, harus berani terbuka, dan teruji nilai moralitasnya. Jangan lagi terbiasa menghindari kritikan dengan berkata jangan mengkritik hamba Tuhan “yang diurapi” cukuplah salah untuk salah, benar untuk benar, tak perlu berdalih. Tak boleh lagi pembodohan terjadi dalam hidup bergereja di mana umat diindoktrinasi sehingga tak lagi kritis.
Umat Kristen harus menjadi model dalam integritasnya, terlebih lagi para pengkhotbah. Mengkritisi “yang diurapi”, mari ramai-ramai kita lakoni, bukan karena membenci tapi sebaliknya karena mengasihi. Kritisi hamba Tuhan yang tidak benar kehidupannya. Kritisi khotbah-khotbah yang ngawur, kontroversial, dan jauh dari ajaran Alkitab. Sehingga kita mempersempit ruang bagi kekacauan dalam kehidupan bergereja. Bagaimanapun harus diakui bahwa semakin panjang barisan pengkhotbah dengan sejuta masalah, mulai dari kasus pajak, keuangan gereja, perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kasus moral lainnya. Dan gawatnya, yang terlibat justru para pengkhotbah dengan label hamba “yang diurapi”. Yang dengan gelap mata umat justru membela dan menyembunyikannya. Sebagai orang percaya kita rindu gereja yang bersih, jujur, dan berintegritas. Ayo maju dengan mengkritisi label-label yang dipakai pengkhotbah untuk menyembunyikan diri. Selamat mengkritisi diri sendiri, selamat intropeksi, agar semua kita bersama bisa bersih diri. Semoga.

oleh: Pdt. Bigman Sirait

Sumber:
http://www.reformata.com/04846-mengkritisi-yang-diurapi.html



Profil Pdt. Bigman Sirait:
Pdt. Bigman Sirait adalah Ketua Sinode dan gembala sidang Gereja Reformasi Indonesia (GRI) Antiokhia, Jakarta (www.gri.or.id) sekaligus sebagai Pemimpin Umum Tabloid Reformata. Beliau mendirikan Yayasan MIKA yang bergerak dalam dunia pendidikan dengan Sekolah Kristen Makedonia, di Kalimantan Barat. Beliau saat ini sedang mengambil studi Master of Divinity (M.Div.) di Sekolah Tinggi Theologi Reformed Injili Indonesia (STTRII) Jakarta.

IMAN KRISTEN DAN KEDEWASAAN




“Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.”
(Ibr. 5:14)



Ketika mendengar kata “dewasa”, apa yang ada di benak kita? Ada yang mengatakan bahwa orang yang telah berusia 25 tahun ke atas. Orang lain mengatakan bahwa orang dewasa adalah orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Pada umumnya orang mengidentikkan kedewasaan dengan tingkat usia seseorang atau hal-hal superficial atau fenomenal yang dapat dilihat mata. Salahkah hal tersebut? Tentu TIDAK! Namun fakta membuktikan bahwa orang yang sudah berusia 25 tahun ke atas pun bertindak tidak dewasa, misalnya kalau ditegur langsung ngambek, setiap perkataannya harus ditaati sampai sedetail-detailnya, berkata apa pun selalu tidak bisa dipertanggungjawabkan (bahasa Jawanya: esuk dele sore tempe), dll. Lalu, jika kedewasaan HANYA diukur dari tingkat usia seseorang atau hal-hal superficial, apakah gejala-gejala di atas menunjukkan bahwa orang tersebut telah dewasa? TIDAK. Lalu, apa sebenarnya makna dewasa?


Iman Kristen dan Alkitab mengajarkan beberapa presuposisi kedewasaan:
 
Pertama, kedewasaan itu menyeluruh (holistik). Di dalam kuliah Surat Ibrani di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS) Andhika, Pdt. Thomy Job Matakupan, M.Div. mengatakan bahwa kedewasaan itu adalah sesuatu yang menyeluruh, meliputi kedewasaan: rohani, karakter, dll. Dengan kata lain, ada orang Kristen yang dewasa secara rohani namun tidak dewasa secara karakter dan sebaliknya. Sehingga adalah tugas orang Kristen untuk saling menguatkan dan menegur satu sama lain untuk mendewasakan satu sama lain di dalam pertumbuhan yang sehat dan menyeluruh ke arah Kristus.

Kedua, kedewasaan itu proses. Karena kedewasaan itu adalah hal yang menyeluruh, maka tentu saja kedewasaan itu membutuhkan proses. Artinya, seorang Kristen untuk menjadi dewasa secara menyeluruh dibutuhkan sebuah proses waktu. Oleh karena itu, jangan pernah menghina orang Kristen yang sedang bertumbuh, karena fakta membuktikan orang yang gemar menghina orang lain dengan celetukan, “kayak anak kecil”, orang yang menegur tersebut pun secara tidak sadar juga seperti anak kecil, misalnya ngambek kalau ditegur.

Ketiga, kedewasaan itu perlu bantuan. Karena kedewasaan itu sebuah proses, maka dibutuhkan bantuan untuk mendewasakan seseorang. Bantuan tersebut bisa berupa teguran dan pengajaran dari Alkitab, hamba Tuhan, saudara seiman, orangtua, saudara, dll. Nah, sering kali orang yang merasa diri sudah berumur/tua paling berbangga diri karena merasa diri sudah dewasa, sehingga kalau ditegur, selalu mengeluarkan seribu jurus melawan teguran tersebut! Justru, orang yang merasa paling dewasa dan tidak butuh orang lain untuk menegur, orang tersebut justru TIDAK dewasa, karena dewasa bukan suatu keadaan statis!


Dari presuposisi tentang kedewasaan, maka kita dapat menarik beberapa ciri kedewasaan. Saya membagi kedewasaan menjadi dua: internal dan eksternal.

Ciri-ciri kedewasaan internal:
 
Pertama, mengonsumsi makanan keras. Kalau kita kembali melihat Ibrani 5:14, penulis Ibrani mengatakan bahwa makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa. Kata “dewasa” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya teleiōn artinya sempurna atau dewasa (mature). Hanya orang-orang dewasa yang dapat mengunyah makanan keras karena gigi-gigi mereka sudah terlatih. Di dalam kehidupan sehari-hari, orang (yang bertumbuh) dewasa adalah orang yang tidak lagi mendengarkan dongeng, namun sudah terbiasa membaca surat kabar dan buku-buku yang sulit. Di dalam kerohanian, orang Kristen (yang bertumbuh) dewasa adalah mereka yang sudah terlatih mendengarkan khotbah-khotbah yang keras yang menegur dosa supaya mereka bertobat dan kembali kepada Kristus. Namun berhati-hatilah, mendengarkan khotbah keras JANGANLAH menjadi suatu arogansi bagi kita lalu menghina khotbah-khotbah yang sederhana (sederhana TIDAK sama dengan dangkal!)

Kedua, peka membedakan yang baik dan jahat. Dalam bahasa Yunani, kata membedakan adalah diakrisis bisa berarti discerning atau judging (=membedakan, melihat, menghakimi). Dengan kata lain, kedewasaan internal diukur dari kepekaan seseorang (Kristen) mengetahui dengan jelas sesuatu atau seseorang apakah itu baik atau jahat, lalu pengetahuan itu menuntut pembedaan yang jelas antara keduanya, sehingga tidak mengaburkan dan menyesatkan. Kepekaan mengetahui dengan jelas dan kemudian membedakannya hanya dimiliki oleh seorang yang sudah dewasa. Orang dewasa mengetahui dan dapat membedakan mana etika yang benar dan salah. Di dalam kerohanian, orang Kristen (yang bertumbuh) dewasa peka membedakan mana yang baik dan jahat. Namun ingatlah, peka membedakan yang baik dan jahat HENDAKlah tidak mengakibatkan kita menjadi arogan lalu gemar mengkritik sini-sana. Peka membedakan yang baik dan jahat seharusnya berlaku pertama-tama bagi diri kita sendiri (introspeksi diri) dan kemudian bagi orang (dan ajaran) lain.

Ciri-ciri kedewasaan eksternal:

Pertama, mandiri. Mandiri adalah sikap berdikari sendiri, berani melakukan segala sesuatunya secara sendiri. Mandiri tidak berarti tidak membutuhkan bantuan orang lain sama sekali, tetapi mandiri adalah sikap seorang yang dewasa dalam mengerjakan segala sesuatunya tanpa bantuan orang lain, entah itu teman, orangtua, dll (meskipun bantuan mereka TIDAK boleh kita abaikan sama sekali). Mandiri berwujud: Pertama, menguasai banyak hal. Artinya, sebisa mungkin, orang yang bertumbuh dewasa adalah orang yang cukup menguasai banyak hal (theologi, filsafat, politik, pendidikan, ekonomi, dll), meskipun hal ini TIDAK berarti kita menjadi ahli dalam segala hal. Kedua, bijaksana. Secara implisit, Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mendefinisikan bijaksana sebagai suatu tindakan yang diambil dengan tepat dengan pertimbangan yang matang di dalam kondisi yang tepat. Artinya, selain pintar, bijaksana juga membutuhkan hikmat tertinggi yaitu dari Tuhan. Bijaksana ini bisa diaplikasikan dalam: mengambil keputusan dan mengelola sesuatu (misalnya: keuangan, waktu, dll). Ketiga, bertanggung jawab. Seorang yang mandiri haruslah seorang yang bertanggung jawab atas apa yang dipikirkan, diucapkan, dan dilakukan. Jangan merasa diri mandiri, namun ketika berkata sesuatu selalu mencla-mencle!

Kedua, kemampuan bersosialisasi. Mandiri saja TIDAK cukup syarat bagi seorang yang bertumbuh dewasa, karena jika yang diperlukan hanya mandiri, maka kita nantinya menjadi pribadi yang egois dan arogan. Oleh karena itu, seorang yang bertumbuh dewasa perlu memiliki kemampuan untuk bersosialisasi. Artinya, orang tersebut harus bisa berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia luar, misalnya lingkungan gereja, masyarakat, pekerjaan, pendidikan, dll. Dengan berhubungan dengan dunia luar (berkomunitas), kita bisa belajar banyak hal, mulai dari prinsip hidup, kondisi masyarakat, dll. Selain itu, G. I. Jeffrey Siauw, M.Div. di dalam khotbahnya tentang komunitas di dalam Seminar Redemptive Spirituality Series pada tanggal 20 September 2008 di Surabaya mengajarkan bahwa pentingnya komunitas itu membukakan kepada kita realitas kita yang negatif dan teman kita dapat memberi terang kepada diri kita. Tanpa komunitas, kita tidak pernah merasa diri kita memiliki kelemahan/hal negatif. Tuhan memakai komunitas yang bertanggungjawab sebagai sarana mempertumbuhkan iman dan karakter kita.

Ketiga, rendah hati. Kemampuan bersosialisasi mengakibatkan seorang yang bertumbuh dewasa memiliki suatu kerendahan hati. Rendah hati TIDAK sama dengan rendah diri atau sungkan (bahasa Jawa: enggih-isme). Rendah hati adalah suatu sikap merendahkan hati kita untuk siap ditegur dan diajar oleh orang lain, sehingga kita bisa bertobat dari yang lama. Saya menjumpai terlalu banyak orang yang mengklaim diri dewasa (baca: yang sudah berumur/tua), tetapi ketika ada pendapat mereka yang salah secara objektif, mereka menjadi keras kepala dan enggan ditegur dengan beribu argumentasi “logis”. Tidak heran, saya sering mendengar orang berkata bahwa semakin tua usia seseorang, semakin susah orang tersebut ditegur! Mengapa? Karena orang itu sudah TIDAK memiliki sikap rendah hati ditambah kebanyakan mereka menjadi sombong. Kesombongan mereka ditandai dengan perkataan yang sering mereka ucapkan bahwa mereka sudah berpengalaman, sudah banyak makan asam garam (sampai darah tinggi, kolesterol, dll, hehehe). Orang yang bertumbuh dewasa khususnya orang Kristen seharusnya TIDAK meniru apa yang dunia pikir, katakan, dan lakukan, tetapi harus berubah. Kerendahan hati adalah sikap yang HARUS dimiliki orang Kristen dari segala macam usia untuk bertumbuh makin serupa dengan Kristus.


Bagaimana dengan kita? Biarlah artikel singkat ini boleh menyadarkan kita agar kita semakin lama semakin bertumbuh dewasa menuju ke arah Kristus dan tentunya kita membutuhkan bantuan agar kita bisa berada di dalam proses menuju kedewasaan itu. Jadilah orang yang membantu orang lain untuk bertumbuh dewasa dan rendah hatilah dalam menerima setiap teguran dan pengajaran dari orang lain yang sesuai dengan Alkitab agar kita pun juga bertumbuh makin dewasa. Amin. Soli Deo Gloria.


“Mengenal kehendak Allah bukanlah proses menerima informasi langsung dari Allah tentang persoalan hidup, tetapi proses mengenali persoalan hidup berdasarkan wahyu yang telah diberikan Allah kepada kita.”
(Rev. Prof. Gary T. Meadors, Th.D., Decision Making God’s Way, hlm. 185) 

oleh: Denny Teguh Sutandio

Yesus dan Trinitas



Bagaimana satu Tuhan terdiri dari tiga Pribadi


Doktrin Trinitas - yaitu bahwa Allah Bapa, Allah [Simbol Trinitas] Putra, dan Allah Roh Kudus masing-masing adalah Tuhan yang sama dan satu - yang diakui sulit untuk dipahami, merupakan dasar utama dari kepercayaan Kristen. Walaupun kaum skeptik meremehkannya sebagai ketidakmungkinan matematika, hal tersebut merupakan doktrin dasar Kitab Suci dan juga merupakan kenyataan yang amat dalam dari pengalaman universal dan pemahaman kosmos secara ilmiah.

Perjanjian Lama dan Baru keduanya mengajarkan Kesatuan dan Trinitas Tuhan. Ide bahwa hanya ada satu Tuhan, yang menciptakan segala hal, berulang kali ditekankan dalam Kitab Suci seperti dalam Yesaya 45:18: "Sebab beginilah firman Tuhan, yang menciptakan langit; Dialah Allah yang membentuk bumi dan menjadikannya;… Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain". Contoh dalam Perjanjian Baru adalah Yakobus 2:19: "Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar."

Ketiga pribadi Tuhan, pada saat yang sama, tercatat dalam Kitab Suci seperti dalam Yesaya 48:16: "Dari dahulu tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi dan pada waktu hal itu terjadi Aku ada di situ. Dan sekarang, Tuhan Allah mengutus aku dengan Roh-Nya." Pembicara dalam ayat ini jelas sekali adalah Tuhan, dan Dia mengatakan Dia telah "diutus oleh Allah Tuhan (yaitu, Bapa) dan Roh-Nya (yaitu, Roh Kudus)". Doktrin Trinitas dalam Perjanjian Baru terdapat dalam ayat seperti Yohanes 15:26, di mana Tuhan Yesus bersabda: "Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku." Kemudian ada juga aturan pembaptisan: "baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus" (Matius 28:19). Satu nama (Allah) - tetapi tiga nama!

Bahwa Yesus, satu-satunya Putra Allah, dinyatakan sebagai Tuhan, setara dengan Bapa, dijelaskan dalam banyak kitab dalam Kitab Suci. Sebagai contoh, Dia bersabda: "Aku adalah Alfa dan Omega, awal dan akhir, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa" (Wahyu 1:8).

Beberapa pemuja secara salah mengajarkan bahwa Roh Kudus adalah pengaruh ketuhanan yang tidak berpribadi, tetapi Kitab Suci mengajarkan bahwa Dia adalah pribadi yang nyata, seperti halnya Bapa dan Putra. Yesus bersabda: "Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang" (Yohanes 16:13).

Ajaran Kitab Suci mengenai Trinitas dapat diringkas sebagai berikut. Allah adalah Tiga-dalam-satu, dengan tiap Pribadi Tuhan adalah Allah yang sama dan selalu dan sepenuhnya. Masing-masing diperlukan, dan masing-masing berbeda, tetapi semuanya adalah satu. Ketiga Pribadi muncul dalam urutan yang bersifat sebab-akibat dan logis. Bapa adalah yang tak nampak, Sumber dari segala sesuatu, dinyatakan dalam dan oleh Putra, diejawantahkan dalam dan oleh Roh Kudus. Putra bermula dari Bapa, dan Roh dari Putra. Mengacu pada penciptaan Tuhan, Bapa adalah Pemikiran di atas semua itu, Putra adalah Sabda yang memanggilnya keluar, dan Roh adalah Perbuatan yang menyebabkannya menjadi kenyataan. Kita “melihat” Tuhan dan penyelamatan agung-Nya dalam Putra, Tuhan Yesus Kristus, kemudian “mengalami” kenyataan mereka dalam iman, melalui kehadiran Roh Kudus-Nya.

Walaupun hubungan ini tampaknya seperti paradoks, bagi beberapa orang bahkan benar-benar tak mungkin, hal tersebut amatlah nyata, dan kebenarannya sudah mendarah daging jauh ke dalam sifat dasar manusia. Maka, manusia selalu merasakan lebih dahulu kebenaran bahwa Tuhan pasti "ada di luar sana", ada di mana-mana dan merupakan Penyebab Pertama dari segala sesuatu, tetapi mereka telah mengkorupsi pengetahuan intuitif mengenai Bapa ini menjadi panteisme dan akhirnya menjadi naturalisme. Serupa dengan itu, manusia selalu merasakan kebutuhan untuk “bertemu” Tuhan dalam arti pemahaman dan pengalaman mereka sendiri, tetapi pengetahuan bahwa Tuhan harus menampakkan diri-Nya sendiri telah disimpangkan menjadi politheisme dan pemujaan berhala.

Manusia kemudian secara terus-menerus membangun “model” atas Tuhan, kadang-kadang bahkan dalam bentuk sistem filosofis untuk menggambarkan kenyataan yang paling utama. Akhirnya, manusia selalu mengetahui bahwa mereka harus dapat mempunyai hubungan erat dengan Penciptanya dan mengalami kehadiran-Nya “di dalam”.

Tetapi intuisi yang mendalam tentang Roh Kudus ini telah dikorupsi menjadi berbagai bentuk fanatisme dan mistisisme palsu, dan bahkan menjadi spiritisme dan demonisme. Jadi, kebenaran tiga-dalam-satu Allah telah berurat-akar dalam diri manusia, tetapi dia sering kali menyimpangkannya dan menggantikannya dengan tuhan palsu. 


Hal-hal yang keliru dalam Pemahaman Tritunggal Maha Kudus
 
Istilah “Tritunggal Maha Kudus” untuk menyebut Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki Firman dan Roh dalam diri dan dzatNya yang serba esa ini sering dimengerti secara salah oleh orang diluar Kristen. Kata ini memang tak terdapat dalam Kitab Suci dan pertama kali digunakan oleh Theophilus dari Antiokhia di Gereja Timur dalam bahasa Yunani “Triados” dan Tertulianus dari Gereja Barat dengan istilah bahasa Latin “Trinitas” dalam usaha untuk menjelaskan tentang fakta yang terdapat dalam Kitab Suci mengenai Allah Yang Esa yang disebut Bapa, yang memiliki Firman yang disebut Putra/Anak dan Roh yang disebut Roh Kudus yang bersifat Kekal, dan hubungan Firman Allah dan Roh Allah itu dengan Allah Yang Esa itu sendiri.

Jadi yang dimaksud dengan Tritunggal bukanlah mengenai ajaran bahwa ada Tiga Ilah yang terpisah-pisah yang disebut Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus seperti yang kita jumpai dalam ajaran Mormon. Bukan pula terdiri dari Isa, Maryam dan Allah, sebagai tiga tuhan bersatu. Malah bukan pula sebagai Isa dan Jibril ( karena istilah Kristen “Roh Kudus” itu disamakan dengan ajaran dalam Islam dimana nama lain dari malaikat Jibril adalah “Rohul Qudus”) yang dipersekutukan dengan Allah, seperti yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan polemik beberapa penulis Muslim dalam serangannya terhadap faham Tritunggal ini. Bukan pula Tritunggal ini tiga Nama yang berbeda dari satu Tuhan Yesus Kristus. dimana “Bapa” disamakan dengan gelar :”Tuhan”, dan “Anak” disamakan dengan gelar “Yesus” serta “Roh Kudus” disamakan dengan gelar “Kristus”, namun wujudnya adalah satu yaitu “Tuhan Yesus Krisus” yang dilahirkan Maryam itu.

Jadi menurut faham ini Allah yang Esa itulah Tuhan Yesus Kristus. Faham ini banyak kita jumpai dalam beberapa kelompok denominasi Protestan non-klasik di Inondonesia ini. Memang faham ini sangat bertentangan dengan data Kitab Suci yang telah kita bahas diatas. Tak pula Tritunggal itu berarti hanya tiga fungsi dari Allah yang Esa, semisal orang satu yang dapat berfungsi sebagai bapak, anak dan suami tergantung pada situasinya. Sebagaimana yang difahami oleh beberapa kelompok tertentu dalam denominasi Protestan klasik. Dan bukan pula Tritunggal itu sebagai suatu “keluarga ilahi” yang terdiri dari Bapa, Ibu (“Roh Allah” sering dianggap bersifat feminin oleh kelompok tertentu) dan AnakNya. Tidak pula ini suatu keluarga ilahi yang terdiri dari Bapak dan Anak yang diikat oleh kasih yang disebut Roh Kudus. Sebagaimana yang difahami oleh kelompok Protestan sempalan tertentu.

Dan Tritunggal itu bukan juga semacam gambaran psykhologis dalam Allah Bapa itu kehendak, Anak itu kata-kata atau akal-budinya serta Roh Kudus itu adalah semacam emosi ilahi yang bernama kasih, seperti yang diajarkan oleh Santo Agustinus dari Gereja Barat. Dan bukan pula Tritunggal itu adalah proses dan tahap yang dilalui Allah dalam sejarah: dalam Perjanjian Lama Allah yang Esa itu disebut Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang tadinya disebut Bapa itu sekarang disebut Anak, dan dalam Gereja Allah Yang Esa yang tadinya disebut Bapa dan Anak itu sekarang disebut Roh Kudus, seperti yang diajarkan oleh aliran dispensasionalis tertentu dari kelompok Protestan sayap kiri. Dan ajaran Tritunggal Mahakudus ini berbeda sama sekali dengan faham “Trimurti” dalam Agama Hindhu. Karena Brahma, Wisnu dan Shiwa dalam agama Hindhu adalah dewa yang terpisah-tepisah yang memiliki keluarga masing-masing lengkap dengan anak-anak dan isteri-isteri mereka masing-masing. Meskipun jika masing-masing dianggap sebagai manifestasi-manifestasi dari “Brahman” (Sang Hyang Widhi) yang satu. Karena masing-masing manifestasi itu berdiri sendiri-sendiri dengan karya-karya yang saling tak terkait satu sama lain.

Tidak pula Tritunggal Mahakudus itu dapat disamakan dengan ajaran Kebatinan “Pangestu” tentang “Tri Purusa”, dimana dimengerti bahwa Tuhan yang satu itu berada dalam tiga “faset” : Sang Suksma Kawekas yang diparalelkan dengan Sang Bapa, Suksma Sejati yang disamakan sebagai Sang Putra dan Roh Suci yang adalah inti terdalam dari roh manusia sendiri (kelihatan faham “pantheisme” disini, suatu faham yang ditolak Gereja : Roh Suci dalam Gereja adalah Roh yang ada di dalam Diri Allah, dan bukan inti terdalam dari roh manusia ). Dimana Suksma Kawekas digambarkan sebagai Omnipotensi (jadi bukan pribadi atau hypostasis seperti yang diajarkan oleh Iman kristen) atau Samudera keilahian yang diam tak bergerak, sedangkan Suksma Sejati digambarkan sebagai samudera keilahian yangt mulai bergerak, dan Roh Suci adalah uap samudera yang keluar akibat gerak samudera keilahian tadi (inilah faham “emanasi” yang juga ditolak)

Berarti terdapat dua kali pemunculan baru di dalam Allah, yaitu munculnya gerakan samudera keilahian : Sang Suksma Sejati, serta munculnya uap air samudera keilahian: “Roh Suci” dari “gerak samudera keilahian”: Suksma Sejati (sesuatu yang baru muncul bukanlah sesuatu yang kekal, dalam Allah tak ada yang baru semuanya “qodim” dan “azali” menurut Iman Kristen). Semuanya itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Tritunggal Maha Kudus dalam Iman Kristen.
Namun yang disebut Tritunggal dalam ajaran Iman Kristen sebagaimana yang jelas diajarkan Kitab Suci adalah penjelasan akan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki “Firman” dan “Roh” yang berada satu di dalam Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu.

Doa Untuk Anda

Apakah Anda Ingin mendapat kiriman text Doa-Satu-Menit setiap hari ? Kirim Email Kosong ke : doa-satu-menit-subscribe@yahoo.com
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Matius 6:33)

Jika Kamu di Surabaya, Stay Tuned at

  • Bahtera Yuda at 96.4 MHz
  • Bethany FM at 93.8 MHz
  • Nafiri FM at 107.10 MHz

Firman Tuhan Untuk Anda

"Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." (Yohanes 6:51)




Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku. (Yohanes 10:14-15)




“Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)




Jawab Yesus: "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya" (Yohanes 11:25-26)




Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. (Yohanes 15:16)




“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakan lah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Filipi 4:6-7)




-----000000------00000------00000---------