Dua hukum yang penting di dalam kehidupan manusia adalah mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Namun di dalam kedua hukum ini, masih terdapat hukum kasih yang lain, yang agak terselip dan jarang diperhatikan. Hukum kasih ini muncul setelah Yesus berkata, ”Kasihilah sesamamu manusia,” kemudian dilanjutkan dengan kata-kata,”seperti dirimu sendiri”. Kita tentu tidak dapat mengasihi sesama kita manusia jika kita tidak tahu bagaimana caranya mengasihi diri sendiri. Demikian juga firman Tuhan mengatakan bahwa kita tidak dapat mengasihi Allah yang tidak terlihat jika kita belum mengasihi sesama kita yang terlihat. Jadi, mengasihi Allah dan sesama, dimulai dengan mengasihi diri sendiri. Jikalau kita mampu mengasihi diri kita, berarti kita memiliki kecakapan untuk mengasihi Allah dan sesama. Apa dan bagaimana mengasihi diri sendiri itu?
Pertama, kasih yang tidak egois, tetapi produktif. Kasih bukanlah kata benda, tetapi kata kerja. Dua kata ”kasih” yang digunakan dalam hukum kasih adalah agapeistis, yaitu suatu kata kerja yang aktif. Kasih yang produktif adalah kasih yang aktif dan dinyatakan melalui tindakan, sehingga mengasilkan hal-hal yang baik, berguna serta membangun diri kita sendiri.
Kedua, menerima diri sendiri. Agar kasih kepada diri sendiri terus-menerus menjadi kasih yang produktif, maka kita harus mampu untuk menerima diri sendiri. Seseorang yang tidak mampu menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya adalah orang yang membenci dirinya. Ini mungkin disebabkan karena cacat fisik, penampilan kurang menarik, keadaan sosial ekonomi yang serba kurang, gagal mencapai cita-cita,dll. Jika hal ini terjadi, maka kita akan sulit untuk menerapkan kasih yang produktif, baik kepada Allah maupun sesama.
Ketiga, mengasihi diri sendiri secara jasmani dan rohani. Ketika Yesus berkata bahwa kita harus mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri, Dia mengakui bahwa wajar bagi kita untuk mengurus kebutuhan manusiawi kita akan makanan, tempat tinggal, teman, kebebasan dari sakit penyakit, dan kebutuhan hidup lainnya. Hal yang sama wajarnya adalah mengurus kebutuhan rohani kita seperti berdoa, merenungkan dan belajar firmanNya, melayaniNya. Jika kita tidak memenuhi kebutuhan ini berarti kita membenci diri kita sendiri.
Keempat, menyangkal diri. Prinsip kasih kepada diri sendiri harus pula secara serentak diikuti dengan sikap yang mampu menyangkal diri, sebab tanpa sikap ini, kita terus mengembangkan sikap mengasihani diri sendiri, manja, egois, dan mau enaknya saja. Penyangkalan diri adalah sikap diri sendiri untuk melawan hal-hal yang merugikan kita. Yesus berkata, ”......Setiap orang yang mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Matius 16:24).
0 komentar:
Posto një koment