Melihat judul tulisan ini,
kayaknya tidak berbobot atau pun bisa dikomentari sebagai sesuatu yang biasa
atau datar saja. Namun apa yang tertulis itu, sebenarnya memiliki siratan
filosofi yang dalam untuk bisa meski sekadar memahaminya. Mengapa?
Berbicara tentang berkat
sungguh menarik hati. Apalagi kalau ditambahi dengan makna ‘menerima’. Maka
setiap insan pasti ingin menerimanya, kalau perlu setiap hari. Namun kalau
ditambahi dengan makna memberi, maka ada sedikit kerikil yang akan
mengganjalnya untuk segera berkata, “Ya…,” dibanding saat menerima berkat.
Memang manusia lebih suka
membuka kedua tangannya. Sebuah tanda bahwa ia lebih siap untuk menerima
ssuatu. Padahal dalam kehidupan yang nyata tak meski demikian. Tangan sudah
bersedia menerima, tetapi tak ada yang memberi, malahan harus memberi. Meski
ini terpaksa.
Mengapa yach… kalau sesuatu itu sudah dalam genggamannya, begitu sulitnya
untuk dibagikan? Ada yang berkata, “Memang sifatnya begitu!” “Coba lihat ayah
ibunya juga begitu!” “Mungkin dapatnya susah kali yach…?” “Lha iyalah…, namanya juga keturunan pedagang.” “Kayaknya
setelah menikah, baru pelit kok!” “Mungkin usahanya sepi.” Dan masih banyak
alasan lainnya, yang membuat seseorang susah untuk berbagi dengan sesama. Yang
pasti, saat ingin berbagi, pasti sedang memikirkan, “Apa yang bisa didapat
setelah berbagi ini?”
Paling tidak memikirkan,
nanti pasti Tuhan yang akan membalas. Apalagi kalau habis mendengar khotbah
yang berkata, “Ini akan memiutangi Tuhan. Dan Tuhan tidak senang berutang
kepada umat-Nya. Dia pasti membalas berlipat kali ganda. Percayalah…, Tuhan
tidak mau berutang kepada kita.”
Benarkah Tuhan berutang
berkat pada kita? Apakah tidak sebaliknya kita yang berutang kepada Tuhan? Dan
ini tidak mungkin bisa terbayar sampai kita meninggalkan dunia ini. Lalu,
apakah utang kita kepada Tuhan? Itu lho…, harga tiket masuk ke Sorga. Harganya
tak ternilai yaitu darah Yesus yang tercurah di bukit Golgota. Bagaimana cara
menikmatinya? Dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup,
yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Maka kita akan menjadi berkat kapan
pun dan di mana pun tanpa lagi menghitung untung dan ruginya secara hukum
ekonomi dunia ini.
Orang yang memahami makna
ini akan bisa menikmati berkatnya setiap hari. Bukan masalah menerima berapa
banyak, namun bagaimana menikmatinya itu lebih penting. Jikalau oksigen yang
kita hirup ini harus dibayar, seperti para pasien di ruang ICU rumah sakit,
maka hidup kita akan diisi dengan bekerja mencari uang hanya untuk membeli
oksigen setiap harinya. Kita lahir pun tidak pakai baju, apalagi bawa uang. Dan
semuanya kita peroleh selama selang waktu saat menanti untuk antri ke liang
lahat kembali. Namun mengapa berkat yang kita peroleh selama hidup ini, kok
dirasa kurang terus? Cobalah melihat ke orang yang lebih menderita dari kita.
Akan ada ucapan syukur yang mengalir dari bibir. Namun kalau melihat ke atas
terus, maka akan menimbulkan ketidakpuasan bahkan ketamakan.
Dan pada Desember ini, kita
memperingati kembali meluncurnya berkat yang bernilai kekekalan itu. Kalau kita
mau percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara
pribadi, niscaya Sorga kelak akan dinikmati. Tuhan Yesus memberkati.
Oleh Pdm. Juanda. M.Th.
Sumber:
Tabloid
Rohani Keluarga Bulan Desember 2010 hlm. 2.
Profil
Pdm. Juanda:
Pdm.
Juanda, S.Sos., M.A., M.Th.
adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Rohani Interdenominasi Keluarga sekaligus
melayani di Gereja Bethel Indonesia (GBI) House of Healing, Surabaya. Beliau
pernah studi theologi di Sekolah Theologi Reformed Injili Surabaya (STRIS)
maupun di Sekolah Tinggi Theologi Bethany, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi
Sarjana Sosial (S.Sos.) Komunikasi di
Universitas Dr. Soetomo (Unitomo), Surabaya; Master of Arts (M.A.) bidang Misiologi di Sekolah Tinggi Theologi
Injili Indonesia (STII) Surabaya; Master
of Theology (M.Th.) di Sekolah Tinggi Theologi Moria, Surabaya; dan
mengikuti ujian negara M.Th. Theologi di STT Institut Injil Indonesia (I-3),
Batu, Malang. Sekarang, beliau sedang menyelesaikan studi Doctor of Theology (D.Th.) di STII Yogyakarta dan Doctor of Missiology (D.Miss.) di
Sekolah Tinggi Misiologia Yogyakarta.
0 komentar:
Posto një koment